Khanduri Laot Bakongan Aceh Selatan

Masyarakat Aceh yang terkenal dengan ciri keIslamannya juga memiliki karakter-karakter tersendiri dalam kehidupannya, yang terefleksikan dalam berbagai sistem kebudayaan yang melingkupinya dengan karakteristik yang membedakan dengan masyarakat di daerah atau tempat lain. Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Aceh memiliki peranan yang cukup besar dalam setiap aktivitas bermasyarakat, yaitu sebagai pijakan utama dari berbagai bentuk aktivitas.
Agama merupakan bagian/unsur penting dalam kehidupan manusia yang dapat memberikan ajaran-ajaran yang berupa aturan-aturan serta petunjuk-petunjuk yang dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia dan diyakini kebenarannya.Dalam kajian antropologi, agama dilihat sebagai sistem kebudayaan atau sebagai pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol yang dapat digunakan manusia dalam kehidupan sosialnya.

Dalam masyarakat tradisional melaksanakan muatan budaya itu antara lain diwujudkan dalam pelaksanaan berbagai macam upacara tradisional yang memang menjadi arena dan sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah dimantapkan lewat pewarisan tradisi. Upacara-upacara tersebut antara lain berfungsi sebagai sarana untuk mengokohkan muatan kebudayaan yang didukung oleh masyarakat yang bersangkutan. Keterikatan dan keterlibatan para anggota masyarakat dalam kegiatan-kegiatan upacara merupakan bagian yang integral dan berguna informatif bagi kehidupan sosial.Ia bukan hanya berhubungan unsur emosi religius, organisasi keagamaan, tetapi juga unsur-unsur universal yang lain (sistem kemasyarakatan, sosial, pengetahuan, teknologi, kesenian, keagamaan dan ekonomi), sehingga mampu merangsang rasa solidaritas dan kesamaan nasib diantara sesama anggota masyaraktnya.
Upacara-upacara yang berhubungan dengan adat dari suatu masyarakat pada hakekatnya merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungannya, dimana kebudayaan sebagai pola tingkah laku manusia diperoleh dan diwariskan melalui proses belajar dengan menggunakan lambang yang mencakup benda dan peralatan karya manusia yang terdiri dari gagasan-gagasan nilai-nilai budaya hasil abstraksi pengalaman para pendukungnya yang selanjutnya mempengaruhi sikap dan tingkah laku pendukung itu sendiri.

Sebagai salah satu aspek dalam unsur religi dari kebudayaan universal, maka upacara tradisional juga memperlihatkan adanya muatan nilai-nilai budaya.Nilai-nilai ini berfungsi besar dalam mengatur tingkah laku masyarakat pendukungnya.Salah satu ciri penting dalam upacara tradisional adalah besarnya kekuatan unsur sakral yang dipandang sebagai magis yang bersumber dari sistem religi yang dipegang bersama.Berdasarkan ciri tersebut tersebut, maka upacara tradisional dapat dipandang sebagai suatu pranata sosial religius yang tidak tertulis tetapi terpola dalam sistem ide atau gagasan bersama (collective representation) setiap anggota masyarakatnya.
Upacara tradisional merupakan sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasa terjadi di dalam masyarakat yang bersangkutan.Upacara-upacara tradisional terdiri dari perbuatan-perbuatan yang seringkali tidak dapat diterangkan lagi alasan atau asal usulnya.

Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat akan berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai yang merupakan wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di kabupaten.Kenduri laot bagi masyarakat nelayan Aceh merupakan sebuah perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan setempat.

Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai kemampuan.Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak.Besarnya sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga.Musyawarah itu juga menentukan jadwal pelaksanaan kenduri.

Pertama-tama dalam upacara kenduri laot dimulai dengan tahap persiapan. Dalam tahap ini dipersiapkan antara lain berbagai persajian makanan yang diperuntukkan untuk tamu-tamu juga warga masyarakat yang mengikuti upacara. Selain itu juga dipersiapkan perlengkapan peusijuk sebagai prosesi utama pelaksanaan upacara kenduri laot dan juga perahu sebagai pengangkut sesaji yang akan dibawa ke tengah laut.

Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia, maka tahap berikutnya yaitu pelaksanaan upacara. Dalam pelaksanaannya upacara kenduri laot memiliki perbedaan-perbedaan pada daerah yang melaksanakannya baik mengenai waktu ataupun ritual didalamnya, namun pada intinya sama. Tahap ini dimulai pada pagi hari atau setelah sembahyang Shubuh selesai dilakukan.Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarrus membaca ayat-ayat suci Al-Quran.

Khanduri Laot atau sering disebut dengan Adat Laot merupakan tradisi masyarakat pesisir di Provinsi Aceh. Peringatan Khanduri Laot yang dilaksanakan pada setiap tahun salah satunya berfungsi untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom Adat Panglima Laot. Pemuka masyarakat yang juga Sekretaris Panglima Laot Bakongan Aceh Selatan mengatakan, acara kenduri itu digunakan juga sebagai sarana mensosialisasikan kembali aturan/hukum kelautan yang telah digariskan oleh Endatu (nenek moyang).[1]Tradisi Khanduri Laot yang berlaku dalam masyarakat nelayan di Bakongan Timur, tradisi yang sarat dengan nilai-nilai sakral itu pun kini mengalami apa yang disebut dengan transformasi. Sebagai bagian dari suatu unsur kebudayaan, Khanduri Laot yang merupakan salah satu penyangga kebudayaan Bakongan Timur turut mengalami perubahan-perubahan. Baik perubahan secara fisik, esensi, ataupun ide gagasan dibelakangnya. Hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan masa, juga dipengaruhi unsur-unsur khilafiah keagamaan yang menumbuhkan dua pendapat berbeda terhadap prosesi pelaksanaan Khanduri Laot.[2]
masyarakat Bakongan Timur, Kabupaten Aceh Selatan, Nanggroe Aceh Darussalam. Dahulu dalam setiap Khanduri Laot yang digelar selalu dilakukan pelarungan kepala kerbau, namun pada kenduri yang berlangsung tanggal 12 Agustus 2004 tersebut tradisi melarung kepala kerbau itu tidak dilakukan. Ada anggapan pelarungan kepala kerbau ke laut bertentangan dengan paham-paham agama. Para nelayan kemudian sepakat tidak melakukannya lagi. Apalagi dalam pertemuan dengan para panglima laot beberapa waktu lalu, unsur ulama setempat telah menyampaikan hal itu dan meminta pelarungan kepala kerbau itu lebih baik tidak dilakukan. Maka, saat kenduri laut hari itu, kepala kerbau dan dagingnya yang lain digulai. Makanan itu diberikan kepada undangan dan fakir miskin.
Dari segi makna yang terkandung dalam Khanduri Laot  juga turut mengalami pelebaran. Bisa dikatakan pada mulanya Khanduri Laot murni bersifat religius, kini melebar ke ranah sosial kemasyarakatan. Dalam upacara Khanduri Laot mulai disisipkan pesan-pesan moral ajakan kepada masyarakat baik disampaikan ulama ataupun pemerintah.[3]


[1] Agung Suryo Setyantoro, “Kenduri Laot dan Kekiniannya”, Diposkan oleh Aceh di 15.03, hal.1.
[2] Ibid.
[3]Ibid.

Comments