LA DHARARA WALA DHIRARA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
  Persamaan kaidah fiqih dengan kaidah ushul fiqih karena keduanya adalah perkara yang berhubungan dengan hukum-hukum syariat. Adapun kaidah fiqih berguna untuk mengetahui hukum-hukum yang praktis. Kaidah-kaidah ushul adalah timbangan dan patokan untuk melakukan istinbath al-ahkam secara benar.
 Kaidah-kaidah ushuliyah yaitu ketentuan global yang memungkinkan, seperti jika kalian berkata: “perintah menandakan kewajiban” ini disebut qaidah, dan apabila kalian menemukan perintah di dalam al-quran ataupun hadits : seperti kerjakanlah sholat (أقيموا الصلاة) bayarlah zakat (آتوا الزكاة), maka ini disebut perintah, adapun kaidah adalah الآمر للوجوب (perintah menandakan suatu kewajiban) dan inilah yang disebut kaidah ushuliyah, dan kaidah usuliah ini selalu berhubungan dengan pemahaman dalil Adapun mengenai kaidah fiqih dipelajari setelah belajar fikih secara sempurna, karena kaidah fikih seperti ringkasan yang dengan ringkasan tersebut bisa mencakup seluruh masalah  manusia dalam fikih. Dan  setelah membaca fiqih dengan lengkap mengenai ibadah dan muamalah, kaidah syari’ah, bahwa amal itu tergantung niatnya sama seperti Al umur bimaqosidiha (segala sesuatu tergantung pada maqsudnya) perhatikan: Al umur bimaqosidiha ini tidak hanya pada wudhu, sholat, zakat, haji, dan puasa saja namun juga mencakup semua ibadah. Seperti ketika berkata: wadhu adalah iabadah, ibadah tersebut diharuskan niyat. Maka amal perbuatan harus disertai niat. Maka hal tersebut merupakan pembahasan masalah fiqih berbeda dengan ushul fiqih.[1]
 Jika kaidah-kaidah ushuliyah dicetuskan oleh ulama ushul, maka kaidah-kaidah fiqhiyah dicetuskan oleh ulama fiqh, namun penggunaan masing-masing kaidah tersebut selalu berkaitan, tidak dapat berdiri sendiri, mengingat kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya sedang kaidah fiqh merupakan petunjuk pelaksana dari kaidah ushuliyah tersebut, sehingga kadang-kadang terjadi tumpang tindih mana yang disebut sebagai kaidah fiqhiyah, yang jelas keduanya merupakan patokan dalam mengistinbathkan oleh mengijtihadkan suatu hukum.
Kaidah-kaidah fiqih bila ditinjau dari  sumbernya, maka terbagi menjadi tiga yaitu kaedah fiqih yang diambil dari nash Al qur’an dan As Sunah, Kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah dan kaedah fiqih yang diambil dari ijtihat para ulama’.pembahasan ini akan dibahas secara rinci sebagai berikut: 
Pertama kaidah fiqih yang teksnya terambil langsung dari nash Al qur’an dan As Sunah. Misalnya firman Allah ta’ala:  ولا تأكلوا أموا لكم بينكم بالباطل
"Dan janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan cara yang bathil.”(QS.Al Baqoroh: 188). Ayat ini menunjukkan sebuah kaidah tentang haramnya semua jenis transaksi dan perbuatan yang akan berakibat memakan harta orang lain dengan cara yang tidak syar’i.
Kedua adapun missal kaedah fiqih yang terambil dari sabda rosuluallah SAW adalah:  لا ضرر ولا ضرار                                           
“Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”
Hadits ini merupakan kaedah umum tentang berbagai hal,mulai dari masalah makanan pergaulan,muamalah dan lainnya.bahwasannya semua itu kalau mengakibatan bahaya bagi diri sendiri maupun orang lain maka diharamkan.
Ketiga kaedah fiqih yang teksnya tidak terambil langsung dari nash al-Quran dan As Sunah,namun kandungannya berdasarkan al-qur’an dan as Sunah. Misalnya adalah sebuah kaedah yang sangat masyhur: اليقين لا يزول بالشكّ 
"Sesuatu yang yakin tidak bisa dihilangkan dengan sebuah keragu-raguan.”
Kaadah ini berdasarkan kepada hadits, diantaranya adalah hadits abu sa’id Al hudri:إذا شكّ أحدكم في صلاته فلم يدر كم صلّى أثلاثا أم أربعا فليطرح الشكّ و ليبن على ما استيقن
"Dari Abu Said al Khudri berkata: “ Rosululloh bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian ragu-ragu dalam sholatnya dan dia tidak mengetahui sudah berapa rokaat dia sholat, apakah tiga ataukah empat rokaat dia sholat,maka hendaklah dia membuang keraguan tersebut dan berpeganglah pada sesuatu yang meyakinkan.”(HR.Muslim).[2]
Jadi dalam makalah ini penulis hanya akan membahas kaidah fiqh yang kedua yaitu kaedah fiqih yang terambil dari sabda rosuluallah SAW adalah:لا ضرر ولا ضرار
"Tidak boleh berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Secara bahasa “adh dhurar” berarti sesuatu yang harus turun tanpa ada yang menahannya. Adapun secara istilah “adh dharar” memiliki beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ulama : [3]
a)      Darurat adalah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar yang dilarang maka ia bias mati atau nyaris mati, posisi seperti ini ia dibolehkan melanggar yang diharamkan.
b)      Abubakar Al-Jhasas : Darurat ialah menjaga diri dari kematian, atau dari kesusahan yang teramat sangat.
c)      Asy Suyuti ; Darurat adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa.
Berdasarkan pendapat para ulama diatas dapat diambil kesimpulan bahwa “dharurah” adalah kesulitan yang sangat menentukan keadaan manusia karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan manusia.[4]
Konsep kaidah diatas memberikan kesimpulan bahwa manusia harus dijauhkan dari pada “idhrar’ (tidak menyakiti), baik oleh dirinya maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya atau atau menyakiti orang lain.
B.     Penjelasan Kaidah Adh Dhararu Yuzal
Islam tidak menghendaki adanya kemudharatan bagi pemeluknya maka mudharat itu harus dihilangkan jika ada.
Sabda Rasulullahi S.A.W
لا ضرر ولا ضرار                                           
      “ Tidak boleh memudharatkan dan membalas kemudharatan”
Para ulama berbeda pendapat tentang perkataan “dharar” dan “dhirar” yaitu :[5]
1.      Al-Husaini mengartikan dharar : bagimu ada manfaat tapi bagi tetanggamu (orang lain) ada mudharat, sedangkan dhirar diartikan dengan bagimu tidak ada manfaatnya dan bagi orang lain memudharatkan.
2.      Ulama lain mengartikan dharar : membuat kemudharartan dan dhirar diartikan membawa kemudharatan diluar ketentuan syariah.
Contoh : Jika seseorang tetangga membuat saluran air untuk rumahnya akan tetapi menyebabkan kerapuhan tembok dinding rumah tetangganya sehingga dapat membuat rumahnya roboh, maka pembuatan saluran air seperti ini tidak dibolehkan karena mengingat begitu jelas bahayanya.
Dalam segala kondisi, seseorang tidak dapat dipaksa untuk menghilangkan haknya yang berpotensi menyebabkan kemudharatan bagi orang lain jika memang ia lebih dahulu ada daripada sitetangga.[6]
Contoh : Jika seseorang menempati/membangun rumah disamping pabrik roti yang telah berdiri sebelumnya, maka ia tidak berhak menuntut penutupan pabrik roti  tersebut dengan alas an mengganggu ketenangannya, hal itu dikarenakan ia sendiri yang memasuki wilayah berbahaya dan karena keinginannya sendiri.
Contoh lain dari kaidah “adh dhararu yuzal” antara lain:
1.      Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat, karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudharatan bagi orang lain.
2.      Larangan menghancurkan pohon-pohon karena bias menyebabkan banjir atau longsor, yang mengakibatkan kemudharatan bagi orang lain.
3.      Kewajiban untuk berobat dan larangan membunuh diri.
4.      Larangan murtat dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudharatan.

C.    Dasar-Dasar Nash yang berkaitan dengan Adh dhararu yuzallu
“Adh dhararu Yuzalu”
عَلَيْهِ إِثْمَ فَلَا عَادٍ وَلَا بَاغٍ غَيْرَ  اضْطُرَّ فَمَنِ
Artinya : Barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya” (Q.S Al-Baqarah : 173)
Firman Allah :
            الْمُفْسِدِينَ يُحِبُّ لا اللَّهَ إِنَّ
            Artinya :” Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang membuat kerusakan” ( Q.S Al-Qashas :77)

D.    Perbedaan Musyaqqah (kesulitan) dengan Darurat
Masyaqqat adalah suatu kesulitan yang menghendaki adanya kebutuhan tentang sesuatu, bila tidak dipenuhi tidak akan membahayakan eksistensi manusia. Sedangkan “darurat”  adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika tidak di penuhi/ diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta, serta kehormatan manusia.[7]
Kemudian dengan adanya masyaqqat akan mendatangkan kemudahan dan keringanan. Sedangkan dengan adanya darurat akan adanya penghapusan hukum, yang jelas, dengan keringanan masyaqqat dan penghapusan hukum karena mudharat  keduanya akan mengantarkan kemaslahatan manusia.

E.     Furu’
Cabang Adh dhararu yuzalu
الضرورات تبيح المحذورات

            “Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang”
Firman Allah : “ dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada-mu apa yang diharamkan-Nya atasmu kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”.
            Berdasarkan ayat diatas tidak semua keterpaksaan itu membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya dengan  melakukan jalan yang haram. Maka dalam kondisi ini yang haram dapat diperbolehkan.[8]
            Contoh : Misalkan seseorang di hutan tidak ada makanan sama sekali, jika ia tidak makan maka dapat mengancam dirinya atau ia bias mati, namun yang ada disana hanya babi hutan, maka karena keterpaksaannya itu ia boleh memakan babi hutan tersebut sebatas keperluannya.
            Dalam kalangan ulama usul fiqh, yang dimaksud dengan keadaan “dharurat” yang memenuhi syarat sebagai berikut :
a.       Kondisi darurat itu mengancam jiwa dan anggota badan
b.      Keadaan darurat hanya dilakukan sekedarnya (tidak melampaui batas)
c.       Tidak ada jalan lain yang halal kecuali dengan melakukan yang dilarang sebagai solusi.
الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِالضَّرَرِ

“ Kemudharatan tidak boleh di hilangkan dengan kemudharatan lagi”
Kaedah ini semakna dengan kaedah :
الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بمثله
“ Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding”
Contoh: Seorang debitor tidak mampu membyar utangnya, padahal waktu pembayaran sudah habis. Maka dalam hal ini sikreditor tidak boleh mencuri barang debitor sebagai pelunasan hutangnya.


















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
 Bila ditinjau dari aspek linguistik kataضر ر dan ضرار mempunyai makna yang sama tetapi untuk obyek yang berbeda. Kata ضر ر adalah perbuatan yang dilakukan seseorang dan indikasi bahaya dari perbuatan tersebut hanya bisa dinikmati leh subyek pelaku tetapi ada juga yang menginterpretasikan bahwa kata tersebut merupakan sebuah perbuatan yang memberikan manfa’at hanya pada subyek tapi memberikan indikasi bahaya kepada orang lain. Sementara kata ضرار adalah perbuatan yang bersifat interelasi disamping itu ada yang menginterpretasikanya bahwa kata tersebut merupakan perbuatan yang memberi indikasi bahya kepada orang lain tanpa memberikan implikasi manfaat pada pelaku dari perbedaan definitive kedua kata tersebut keduanya sepakat bahwa perbuatan yang berindikasi bahaya baik bagi pelaku(subyek) maupun orang lain sama-sama dilarang.





DAFTAR PUSTAKA
Sabiq, Ahmad bin Abdul latief Abu Yusuf. 2009. Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih Islam. Purwodadi Sedayu Gresik: Pustaka Al-furqon
Hartati. 2012. Hakikat Qawaid Fiqhiyah. (online). (www.Abdulhelim . com / 2012 / 05 / normal – 0–false–false–false–en–us – x – none . html. Diakses  pada tanggal 19/02/13)
Munawwir, Ahmad Warson. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Surabaya: Pustaka Progressif
Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009
Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih Dan Ushulul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers






[1] Beni Ahmad Saebani, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009,

[2]  Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih Dan Ushulul Fiqih. Jakarta: Rajawali Pers.
[3] Hakim, Abdul Hamid. 1928. مبادى أولية في أصول الفقة. Jakarta: Sa’adiyah putra
[4] http://Ahmad Rajafi Sahran.blogspot.com /2011/02/qawaidalushulliyah dan alfiqhiyah.html
[6] Fadal, Muh kurdi. 2008. Kaidah-kaidah fikih. Jakarta Barat: Artha Rivera

[7] http://mbahduan.blogspot.com/2012/03/ kaidah-ushuliyah.html

Comments