ZAKAT
DISUSUN
OLEH :
1.
ERNALISA : 140403100
FAKULTAS
DAKWAH PRODI MANAJEMEN DAKWAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI AR-RANIRY
DARUSSALAM,
BANDA ACEH
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana kita ketahui bersama rukun islam dibangun atas
lima perkara, yaitu mengucapkan dua kalimaat syahadat atau mengikrarkan diri
dengan sungguh-sungguh bahwa sesunggunya tiada tuhan selaain Allah. Mendirikan sholat,
menunaikan puasa, mengeluarkan zakat dan berhaji bagi yang mampu ke masjidil
haram.
Firman Allah SWT. Dalam al-Quran surat An-Nuur ayat 56
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا
الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya:
“Dan Dirikanlah
sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi
rahmat.
Dari ayat di atas kita bisa memahi bahwasanya selain sholat
zakat adalah salah satu ibadah penting yang harus dilakukan. Dimana dalam
penulisan al-Quran kata sholat senang tiasa dikuti oleh kata zakat sebagai
penegasan begitu pentingnya mengeluarkan zakat setelah sholat.
Namun perlu kita ketahui masalah zakat ini tidaklah hanya
kita lihat dari segi ibadat sebagai suaru rukun dari rukun-rukun islam.
Melainkan kita harus memahami bahwa zakat selain sebagai ibadat wajib juga
merupakan sebagai suatu ibadah usah sosil, usaha kemasyarakatan yang perlu kita
perhatikan baik dari pihak berwenang, maupun masyarakat sendiri.
Terlebih lagi mengenai pemungutan zakat bagi mereka yang
wajib mengeluarkan zakat agar dapat berjalan dengan sempurna dan bijak.
Sehingga dari pungutan dan pengelolaan pajak secara baik dan benar dapat
menanggulangi kebutuhan-kebutuhan masyarakat baik itu dalam bidang sosial
maupun mangenai masalah ibadah sehingga dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
ummat islam dalam menegakkan amal ibadah dan kepentingan-kepentingan ibadah
lainnya.
Berkenaan mengenai berbagai perihal di atas maka perlulah
kita membahas masalah zakat ini. Untuk bisa memahami berbagai problematika-problematika
yang di hadapi oleh ummat muslim berkenaan mengenai zakat tersebut. Sehingga
dapat terwujudnya suatu sumber penghasilan yang dapat digunakan untuk membina
masyarakat sejahterah baik dari segi ekonomi maupun ibadah kepada Sang Maha
Pemberi.
B.
Rumusan Masalah
- Apa yang dimaksud zakat ?
- Ada berapa macam zakat yang dapat dikeluarkan ?
- Siapa-siapa saja yang dapat menerimah zakat ?
- Apa sebenarnya tujuan zakat tersebut ?
C.
Tujuan Makalah
Sebagaimana kita ketahui bersama zakat selain sebagai sebagai
ibadah spiritual ternyata juga merupakan sebagai ibaah sosial. Dimana ibadah
ini dimaksutkan agar dapat meratanya keuangan ummat dan kesejahteraan bersama
antar ummat islam itu sendiri. Berkenaan mengenai masalah tersebut untuk itulah
makalah ini dibuat bertujuan untuk memberikan pemahaman kepada kita semua
mengenai apa sebenarnya zakat tersebut, selain itu juga memberikan kejelasan
tentang apa-apa saja yang harus dikeluarkan zakatnya, siapa-siapa sebenarnya
yang berhak menerima zakat tersebut maupun apa sebenarnya maksut dan tujuan
mengapa dala islam harus mengeluarkan zakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
ZAKAT
Ajaran
Islam dalam hubungannya dengan kepemilikan harta benda seseorang adalah dikenal
dengan kewajiban membayar zakat. Menurut asal katanya zakat berarti bersih,
suci, atau tambah. Sedangkan dalam terminologi syariat Islam, zakat
adalah mengeluarkan sebagian harta kepada mereka yang telah ditetapkan menurut
syariat. Mengeluarkan zakat wajib bagi orang yang mempunyai harta sampai pada nisab.
Nisab adalah batas harta kekayaan yang dimiliki seseorang untuk
dikeluarkan hartanya.[1]
B. MACAM-MACAM
ZAKAT
Secara garis besar, zakat terbagi
menjadi dua yaitu zakat mal (harta) dan zakat nafs (jiwa):
1. Zakat Mal
Zakat mal
adalah zakat yang dikeluarkan dari harta. Zakat mal atau zakat harta sudah difardlukan
sejak permulaan Islam, sebelum Nabi SAW hijrah ke kota Madinah. Tidak
mengherankan jika urusan ini sangat diperhatikan Islam. Hal ini dikarenakan
urusan tolong-menolong amat diperlukan dan dikehendaki oleh segala
lapisan masyarakat. Hanya, pada mulanya zakat difardlukan tanpa ditentukan
kadarnya dan tanpa pula diterangkan secara jelas harta-harta yang dikeluarkan
zakatnya. Syara’ hanya menyuruh mengeluarkan zakat. Jumlah zakat yang
dikeluarkanpun terserah kepada yang akan mengeluarkan zakat itu sendiri dan
penerimanya hanya dua golongan yaitu fakir dan miskin saja.
2.
Zakat Nafs
Zakat nafs
atau zakat jiwa yang dinamakan zakat fithri. Yaitu zakat yang diberikan
berkenaan dengan telah selesainya puasa yang diwajibkan. Zakat fithri bermula
pada tahun kedua hijrah atau bertepatan dengan tahun 623 Masehi. Sebelum syara’
menentukan aturan-aturan yang jelas terhadap zakat mal, Nabi SAW mengumumkan di
depan para sahabat beberapa kewajiban islam. Di antara butiran tutur kata
beliau pada hari itu adalah “ Kewajiban mengeluarkan zakat nafs, (zakat fithri)
yang sangat terkenal dalam masyarakat kita dengan nama fithrah”. Nabi
mengumumkan itu pada dua hari sebelum hari raya ‘idul fithri, yang pada tahun
itu juga baru dimulai. Pada hari itu, Nabi berpidato di atas mimbar dan
menerangkan kewajiban serta kefardluan fithri sebelum pergi menjalankan sholat
‘id.[2]
C. HARTA YANG
WAJIB DIZAKATKAN
Al-Qur’an
tidak memberi ketegasan tentang kekayaan wajib zakat dan syarat-syarat apa yang
mesti dipenuhi, serta tidak menjelaskan berapa besar yang harus dizakatkan.
Persoalan itu diserahkan oleh sunnah Nabi, baik dalam bentuk ucapan
maupun perbuatan. Sunnah itulah yang menafsirkan yang masih bersifat
umum, menerangkan yang masih samar, memperkhusus yang terlalu umum, memberikan
contoh konkret pelaksanaannya, membuat prinsip-prinsip aktual dan bisa
diterapkan dalam kehiduppan manusia.[3]
Firman
Allah Q.S Al-Baqarah ayat 267 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ
تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ
اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu.
Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri
tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.
Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.”[QS. Al-Baqarah ayat 267]
1. Syarah Ayat
Kata anfiqu dalam ayat ini berarti zakku
(zakatlah). Kata tersebut menggunakan shighat amr (kata perintah). Hal
itu menunjukan bahwa hasil usaha dan hasil bumi wajib wajib dikeluarkan
zakatnya.
Ayat diatas ada dua ketegori harta yang wajib dikeluarkan
zakatnya, yaitu hasil usaha dan hasil bumi. Al-Quran tidak menyebutkan atau
memperinci hasil usaha atau hasil pertanian yang wajib dizakatkan. Hal itu
menunjukan bahwa ayat tersebut berlaku umum. Apapun jenis usaha dan pertanian
yang halal wajib dikeluarkan zakatnya, sesuai dengan makna al-kasab itu.
Dengan demikian, hasil hasil perdagangan, perindustrian, perusahaan, perbankan,
pertanian, peternakan, uang, emas, dan perak wajib dikeluarkan zakatnya. Harta
itu wajib dikeluarkan zakatnya apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu sampai nisab
dan sampai haul (telah sampai satu tahun). Syarat pertama berlaku untuk
semua jenis harta yang wajib dizakatkan dan syarat yang terakhir hanya berlaku
bagi seluruh hasil usaha selain pertanian atau hasil bumi.
Adapun jenis kekayaan yang disebutkan dan diperingati al-Qur’an
untuk dikeluarkan zakaatnya adalah sebagai berikut:
a.
Emas dan Perak, dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ
وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ
سَبِيلِ اللَّهِ ۗ وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا
يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang
alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan
jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan
orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih.”[QS. At-Taubah (9) ayat 34]
b. Tanaman
dan buah-buahan,
yang dinyatakan oleh Allah:
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ مَعْرُوشَاتٍ
وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ
مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ ۚ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا
حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ ۖ وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الْمُسْرِفِينَ
Artinya:
“Dan dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak
berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan
delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah
dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya
di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan
janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.”[QS. Al-An’am (6) ayat 141]
c.
Usaha dan Barang-barang tambang yang
dikeluarkan dari perut bumi,
misalnya usaha dagang, firman Allah:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا
أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ ۖ وَلَا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ
تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ ۚ وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah)
sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami
keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk
lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
D.
ORANG BERHAK MENERIMA ZAKAT
Pada ayat
60 surat at-Taubah, dijelaskan kelompok-kelompok yang berhak menerima zakat sebagaimana
firnman Allah berikut:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ
عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي
سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ
حَكِيمٌ
Artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”[QS. At-Taubah (9) ayat
60]
Berdasarkan ayat tersebut, maka ada delapan golongan yang
berhak menerima zakat yaitu:
- Fakir, yaitu sekelompok masyarakat yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup.
- Miskin, yaitu sekelompok masyarakat yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.
- Amil, yaitu sekelompok masyarakat yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
- Mu’allaf, yaitu mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan barunya atau kaum kafir yang merupakan pendukung kaum Muslim.
- Hamba Sahaya, yaitu budak yang ingin memerdekakan dirinya.
- Gharimin, yaitu sekelompok masyarakat yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup memenuhinya.
- Fisabilillah, yaitu sekelompok masyarakat yang berjuang di jalan Allah seperti dakwah, perang dan sebagainya.
- Ibnu Sabil, yaitu sekelompok masyarakat yang kehabisan biaya di perjalanan.
Ayat
tersebut menisbatkan bahwa kepemilikan semua zakat oleh kelompok-kelompok itu
dinyatakan oleh pemakaian huruf lam yang dipakai untuk menyatakan
kepemilikan, kemudian masing–masing kelompok memiliki hak yang sama karena
dihubungkan dengan huruf wawu (salah satu kata sandang yang berarti
“dan”) yang menunjukan kesamaan tindakan. Oleh karena itu, semua bentuk zakat
adalah milik semua kelompok itu, dengan hak yang sama.[4]
E.
TUJUAN ZAKAT DAN DAMPAKNYA
Sesungguhnya
sisi sosial dari sasaran zakat, jelas tidak diragkan lagi. Menurut Dr. Yusuf
Qardawi, tujuan zakat dan dampaknya dalam kehidupan masyarakat ada tiga yaitu:
1.Zakat dan Tanggung Jawab Sosial
Pada
sasaran ini ada yang bersifat identitas sosial, seperti menlong orang yang
mempunyai kebutuhan, menolong orang-orang yang lemah seperti fakir,orang yang
berutang dan ibnu sabil.[5]
Menolong
mereka meskipun sifatnya pribadi, akan tetapi mempunyai dampak sosial, karena
masing-masing saling berkaitan erat sebab secara pasti antara pribadi dengan
masyarakat akan saling berpengaruh.
Zakat dari
segi ini, merupakan asuransi sosial. Dari segi lain ada orang-orang yang
sebelumnya tidak wajib zakat, tidak pula mengusahakanya untuk menjadi wajib
zakat, akan tetapi ia berhak menerimanya karena kafakiran dan kebutuhannya.
Maka dari segi ini, zakat dipandang sebagai jaminan sosial.[6]
2.Zakat dan Segi Ekonominya
Zakat dilihat dari segi ekonomi dimana Islam dilarang
memupuknya, menahanya menahannya dari peredaran dan pengembangannya. Dengan
demikian, maka zakat zakat itu merupakan suatu cambuk yang bisa menggiring
untuk mengeluarkan uang agar diusahakan, diamalkan, dan dikembangkan sehingga
tidak habis dimakan waktu.
3.Zakat dan
Tegaknya Jiwa Umat
Zakat dalam penegakkan nilai-nilai
ruhani, adalah seperti makan dan minum dalam timbangan jasmani. Dalam
menegakkan nilai-nilai ruhani uamt, Islam telah menegakkan tiga prinsip dasar
yaitu:
1)
Prinsip Pertama
Menyempurnakan kemerdekaan individu
masyarakat, dalam hal ini ada nash yang mewajibkan memerdekakan budak belian
dari penghambaan antara sesama manusia. Dan ini merupakan syari’at pertama yang
diketahui manusia dalam memerdekakan budak belian, dengan mewajibkan kaum
muslimin mengeluarkan sebagian hartanya yang tetap untuk keperluan tersebut
sebagaimana terdapat dalam surat at-Taubah ayat 60 yaitu (memerdekakan budak
belian).
2)
Prinsip Kedua
Membangkitkan semangat pribadi
manusia dan nilai-nilai keanusiaannya dalam menyerahkan sesuatu yang bermanfaat
bagi masyarakat, baik mental maupun materialnya atau menolak sesuatu yang buruk
yang dikuatirkan terjadi.
3)
Prinsip Ketiga
Memelihara akidah dan pendidikan.
Zakat, walaupun secara lahiriah merupakan aturan materi saja, akan tetapi tidak
bisa dilepaskan dari akidah , tidak bisa dilepaskan dari ibadah, tidak bisa
dilepaskan dari nilai dan akhlak, tidak bisa dilepaskan dari politik dan jihad,
tidak bisa dilepaskan dari problematika pribadi dan masyarakat serta tidak bisa
dilepaskan dari hidup dan kehidupan.[7]
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas kita dapat menahami bahwa
sesunggunya zakat ialah menyisihkan sebagian harta yang kita miliki untuk
kemaslahatan ummat. Terlebih lagi bagi yang berhak menerimanya sebagaimana yang
dijelaskan dalam al-Qur`an. Yaitu orang fakir, miskin, amil, muallaf, hambah
sahaya, gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil. Agar maksut dan tujuan zakat
dapat terlaksana dan terpenuhi berupa tanggung jawab sosial, kesejahteraan
ekonomi masyarakat beragama dan banyak lagi manfat-manfat yang dapat diperoleh.
Asalkan dikelolah sesuai dengan ajaran dan tuntutan Rasulullah SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar
Yusuf, Ali. Studi Agama Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2003.
Ash
Shiddieq. Pedoman Zakat. Jakarta:Bulan Bintang, 1976.
Fuad Abdul
Baqi, Muhammad. Al-Lu`Lu Wal Marjan Mutiara Hadits Sahih Bukhari dan
Muslim. (terj, Tim Penerjemah Aqwam dan Editor Aqwam). Jakarta Timur: Ummul
Qura,2012.
M.
Yusuf, Kadar. Tafsir Ayat Ahkam Tafsir Tematik Ayat-Ayat Hukum, Jakarta:
Amzah,2011.
Prafantya,
Beina (ed). Al-Qur`anul Karim Miracle The Reference. Bandung: Sygma,
2011.
Qardawi,
Yusuf. Fiqhuz-Zakat. Bairut, Linanon: Muassat ar-Risalah, 1973.
[1]
Ali Anwar Yusuf, STUDI AGAMA ISLAM
(Bandung, CV Pustaka Setia, 2003), hlm. 161.
[2] Hasbi Ash-Shiddiqy, Pedoman Zakat
(Jakarta, Bulan Bintang, 1976) hlm. 28
[3]
Yusuf Qardawi, HUKUM ZAKAT terj. Salman
Harun (dkk), (Jakarta, Litera AntarNusa, 1993), hlm. 122.
[4]Wahbah Al-Zuhaily, ZAKAT KAJIAN BERBAGAI
MADZHAB terj. Agus Efendi, Bahruddin Fannany (Bandung, Remaja Rosdakarya,
1997), hlm. 278.
[5] Yusuf Qardawi, HUKUM ZAKAT terj. Salman
Harun (dkk), Loc. Cit, hlm. 877.
[6]
Yusuf Qardawi, HUKUM ZAKAT terj. Salman
Harun (dkk), Loc.Cit, hlm.878-879.
[7]
Yusuf Qardawi, HUKUM ZAKAT terj. Salman
Harun (dkk), Loc. Cit, hlm.885.
Comments
Post a Comment