USULAN RANCANGAN PENELITIAN
UNTUK
PENULISAN SKRIPSI
A. JUDUL: PENYELUDUPAN
HUKUM PERKAWINAN ANTAR AGAMA (MUSLIM
DENGAN NON MUSLIM)
B.
PELAKSANAAN PENELITIAN
a.
Nama
Mahasiswa :
Muhajir
b.
NIM :
1003101020101
c.
Angkatan : 2010
d.
Program
Studi :
Ilmu Hukum
e.
Jumlah
SKS yang diperoleh :
145 SKS
f.
Sudah/
belum lulus dalam
mata Kuliah wajib :
Sudah
g.
Bagian
kekhususan :
Hukum Perdata
h.
Alamat :
jl. Gurita, Alunaga
Kecamatan
syiah kuala,
Kota
Banda
Aceh
C. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan hal yang sakral
bagi manusia yang menjalaninya, tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk
sebuah keluarga yang harmonis yang dapat membentuk suasana bahagia menuju
ketenangan, kenyamanan bagi suami, istri serta anggota keluarga. Islam dengan
segala kesempurnaan memandang perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam
kehidupan manusia, karena islam memandang perkawinan merupakan kebutuhan dasar
manusia, juga merupakan ikatan tali suci atau merupakan perjanjian suci antara
laki-laki dan perempuan. Perkawinan adalah merupakan sarana yang terbaik untuk
mewujudkan rasa kasih saying sesame manusia daripadanya dapat diharapkan untuk
melestarikan proses historis keberadaan manusia dalam kehidupan di dunia ini
yang pada akhirnya keluarga sebagai unit kecil dari kehidupan dalam masyarakat.[1]
Pengertian perkawinan
pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan harus
didasarkan pada agama dan kepercayaan masing-masing. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya masing-masing.[2]
Sebagian masyarakat
khususnya kalangan selebriti Indonesia yang saat ini cenderung melakukan
perkawinan dengan ‘warga Negara asing’ atau yang lainnya dimana sebahagiannya
ada yang masuk Islam sebelum melangsungkan perkawinan dan ada juga yang tetap
mempertahankan status beda agama tersebut. contoh
kasusnya Perkawinan beda agama sekaligus berbeda kewarnegaraannya yaitu
perkawinan antara artis Tamara Bleszynski warga Negara Indonesia – Muslim,
dengan Mike Louis warga Negara Asing Kanada - Kristen yang menikah di Kanada,
namun berakhir dengan
perceraian.
Praktek seperti
di atas mendapat penentangan dari umat Islam Indonesia. Penolakan tersebut
dapat dibuktikan paling tidak dari fakta sebagaimana berikut : Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang
menetapkan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah, selanjutnya
perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab menurut Qaul
Mu’tamad adalah haram dan tidak sah. Fatwa tersebut tidak lagi membedakan
beda agama karena sebab musyrik atau dalam kategori Ahl Kitab. Ketiga,
pandangan umat Islam secara umum di Indonesia bahwa kawin beda agama tersebut
tidak dapat dibenarkan.
Apabila dicermati kajian ini dalam kaca mata
para ulama maka banyak pro dan kontra terhadapnya, Imam Syafi’i misalnya, sebagaimana dikutip
oleh Quraish Shihab mengatakan bahwa istilah Ahl Kitab ditujukan hanya
kepada Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk
bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani. Alasan beliau antara
lain adalah Nabi Musa dan Isa hanya diutus kepada mereka, bukan kepada yang
lain. Mengacu kepada pendapat Syafi’i ini Abdul
Muta’al Al-Jabariy mendefinisikan Ahl Kitab dengan identitas suatu
generasi atau kaum yang telah musnah dan telah tiada ciri dan tandanya.
Jumhur ulama, merujuk
kepada pendapat mereka tentang pengertian Ahl Kitab, tentu saja
membolehkan pernikahan antar agama jenis ini, namun kebolehannya tidaklah
mutlak. Golongan
Hanafiyah memandang sekalipun boleh, pernikahan tersebut adalah makruh. Apabila
perempuan Ahl Kitab ini zimmiyah, maka kemakruhannya makruh
tanzih dan bila perempuan tersebut berdomisili di wilayah yang tidak
memberlakukan hukum kedua mengatakan tidak boleh karena Ahl Kitab
dipandangan sudah tidak ada lagi.
Pokok permasalahan dari kasus-kasus
perkawinan beda agama di luar negeri ialah keabsahan perkawinan di Indonesia
dari pasangan berbeda agama yang melangsungkan perkawinanya di luar negeri
tersebut jika diperhatikan pasal 8 huruf (f) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tengtang Perkawinan, larangan perkawinan yaitu : perkawinan dilarang antara dua
orang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin, sehingga dalam hal ini pada pasal 2 ayat (1) jo pasal 8 huruf
(f) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Secara tegas dikatakan bahwa sahnya
perkawinan di Indonesia adalah berdasarkan agama. Kompilasi
Hukum Islam juga melarang seorang pria mengawi seorang wanita yang tidak
beragama Islam pada pasal 40 ayat 3 dan pasal 44 Kompilasi Hukum Islam seorang pria
dilarang menikahi seorang wanita yang tidak beragama Islam.
Pasal 61 Kompilasi Hukum Islam (KHI). “Tidak
sekufu dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu
karena perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.” Di samping itu
didapati pula yang memiliki padanan kata dengan kata lain yaitu dengan kata
orang yang tidak beragama Islam (non muslim). Ini terdapat dalam pasal 40 dan 44, . “Dilarang
melansungkan perkawinan antara seorang
pria dengan seorang
wanita yang tidak beragama Islam; pereceraian dapat terjadi karena peralihan
agama atau murtad.”
Penyelesaian kasus perkawinan beda agama
kemudian biasanya dilakukan melalui pencatatan perkawinan di dinas kependudukan
dan pencatatan sipil. Pelaksanaan perkawinan dinyatakan sebagai sah antara
warga Negara Indonesia berbeda agama di luar negeri hanya berdasarkan
pencatatan, yang menjadi pertanyaan apakah perkawinan tersebut memiliki
legitimasi kuat untuk dianggap sah mengingat di Indonesia hanya aspek agama
saja yang dapat mengesahkan perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan
sedangkan pasangan tersebut melangsungkan perkawinan di luar negeri karena
hukum Indonesia tidak mengatur perkawinan beda agama, berdasarkan tindakan
tersebut bisa dikatakan bahwa tindakan pasangan beda agama yang menikah di luar
negeri dilakukan untuk menghindari pelaksanaan aturan yang berlaku dalam
Undang-Undang Perkawinan.
D. RUMUSAN MASALAH
Perumusan masalah adalah hal yang penting yang perlu
ditulis untuk membatasi permasalahan yang akan ditulis, oleh karena itu rumusan
masalah yang akan ditulis didalam proposal ini untuk mempersempit tujuan
penulisan skripsi yang akan memusatkan masalah untuk sebuah penelitian, maka
oleh karena itu penulis merumuskan masalah ini sebagai pedoman atau pegangan
dalam merumuskan tujuan, mengurai isi dan mengambil kesimpulan nantinya.[3]
Adapun
rumusan masalah didalam penulisan karya ilmiah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah cara penyeledupan hukum yang
dilakukan oleh pasangan beda agama agar bisa melangsungkan perkawinan?
2.
Bagaimana keabsahan perkawinan di Indonesia
dari pasangan berbeda agama yang melangsungkan perkawinannya di luar negeri ?
E. PENELAHAN KEPUSTAKAAN
1. Penyeludupan Hukum
Penyelundupan Hukum Wetsontduiking
istilah Belanda, Fraude a la loi
istilah Perancis, Fraus legis istilah Latin, Gesetzesumgehung, das Handlen
in fraudem legis istilah Jerman, Frasudulent
creation of poin of contacts istilah Inggris, dan Frode alla legge istilah Italia,Merupakan suatu bagian ajaran
tersendiri teori umum HPI.
Hubungan penyelundupan hukum dengan ketertiban umum
mempunyai hubungan yang erat, keduannya ini bertujuan agar hukum nasional
dipakai dengan mengeyampingkan hukum asing.[4]
Hukum asing dinyatakan tidak berlaku jika dipandang sebagai penyelundupan hukum.
Perbedaan antara ketertiban umum dan penyelundupan hukum adalah bahwa yang
pertama kita saksikan pada umumnya suatu hukum nasional dianggap tetap berlaku,
sedangkan dalam penyelundupan hukum kita saksikan hukum nasional tetap berlaku
itu dan dianggap tetap pada suatu peristiwa tertentu saja, yakni karena kini
ada seorang yang untuk mendapatkan berlakunya hukum asing telah melakukan suatu
tindakan yang bersifat menghindarkan pemakaian hukum nasional itu.
Lembaga penyelundupan hukum dapat juga dilihat dalam
hubungannya dengan masalah “hak-hak yang telah diperoleh’ (droit acquis, verkregen rechten). Nyatalah bahwa penyelundupan
hukum justru bertentangan dengan hak-hak yang diperoleh,[5]
karena pada penyelundupan hukum kaidah-kaidah asing dikesampingkan dan hukum
nasional dipergunakan, tetapi pada hak-hak yang telah diperoleh justru hak-hak
itu yang telah diperoleh menurut hukum asing diakui dan dihormati oleh hukum
nasional sang hakim sendiri.
Dalam satu seminar di Depok, Guru Besar
Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata, menjabarkan ada
empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat
dilangsungkan. Empat cara tersebut adalah meminta penetapan pengadilan,
perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama, penundukan sementara pada
salah satu hukum agama dan menikah di luar negeri. Meminta
penetapan pengadilan, terakhir kali dilakukan oleh Andi Vonny Gani pada 1989.
Jika RUU Adminduk yang saat ini sedang dibahas DPR disahkan, akan lebih banyak
lagi penetapan pengadilan dimohonkan. Ketua Konsorsium Catatan Sipil Lies
Sugondo menyatakan bahwa solusi penetapan pengadilan yang disarankannya turut
dimasukkan dalam RUU Adminduk.[6]
Perkawinan menurut masing-masing agama
merupakan interpretasi lain dari pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan. Prof Wahyono menyatakan perlu penelitian lebih jauh
lagi. Penundukan diri
terhadap salah satu hukum agama mempelai mungkin lebih sering digunakan. Dalam
agama Islam, diperbolehkan laki-laki Islam menikahi wanita non-Islam, yang
termasuk Ahlul Kitab. Ayat Al-Quran inilah yang dipraktekkan sungguh
oleh lembaga-lembaga seperti Paramadina, Wahid Institute, dan Indonesian Conference on Religion and Peace
(ICRP), bahkan diperluas jadi memperbolehkan kawin beda agama bagi wanita
muslim.[7]
Untuk perkawinan beda agama, mantan
Menteri Agama Quraish Shihab berpendapat agar dikembalikan kepada agama
masing-masing. Yang jelas dalam jalinan pernikahan antara suami dan istri,
pertama harus didasari atas persamaan agama dan keyakinan hidup. Namun pada
kasus pernikahan beda agama, harus ada jaminan dari agama yang dipeluk
masing-masing suami dan istri agar tetap menghormati agama pasangannya. Jadi jangan ada sikap saling menghalangi
untuk menjalankan ibadah sesuai agamanya.[8]
MUI (Majelis Ulama Indonesia) melarang
perkawinan beda agama. Pada
prinsipnya, agama-agama lain juga tidak membolehkan, bukan hanya agama Islam.
Semua agama tidak memperbolehkan kawin beda agama. Umatnya saja yang mencari
peluang-peluang. Perkawinannya dianggap tidak sah, dianggap tidak ada
perkwianan, tidak ada waris, anaknya juga ikut hubungan hukum dengan ibunya. Penulis
menolak anggapan jika dikatakan lebih baik menikah daripada kumpul kebo. Penulis menilai hukum tidak akan tegak dengan baik
jika masih ada penyelundupan hukum. Menurut penulis, jika peraturannya sudah tegas,
cukup ditegakkan saja. Solusi terakhir yang di tempuh oleh pasangan beda
agama adalah
menikah di luar negeri.[9]
Penulis menilai Pemerintah tidak tegas. Meskipun Undang-Undang tidak memperbolehkan kawin beda
agama, tetapi Kantor Catatan Sipil bisa menerima pencatatan perkawinan beda
agama yang dilakukan di luar negeri. Padahal, Kantor Catatan Sipil merupakan
produk negara. Dengan demikian, seharusnya yang dicatat Kantor Catatan Sipil adalah sesuai dengan hukum
Indonesia. Secara hukum tidak sah. Kalau
kita melakukan perbuatan hukum di luar negeri, baru sah sesuai dengan hukum
kita dan sesuai dengan hukum di negara tempat kita berada. Harusnya Kantor
Catatan Sipil tidak boleh melakukan pencatatan.[10]
2. Pengertian Perkawinan
Perkawinan
dari sisi bahasa mempunyai arti berkumpulnya dua insane yang semula terpisah
dan berarti sendiri menjadi satu kesatuan utuh dan bermitra.[11]
Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah
ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Islam
menganjurkan kepada setiap manusia melaksanakan perkawinan, mencari pasangan
hidup dan memperbanyak keturunan. Manusia diberi berbagai kelebihan dari
makhluk lainnya, sehingga menjadi subyek yang memiliki hak menentukan
pilihannya, dan karenanya pula manusia diberi
tanggung jawab atas tindakannya.[12]
Awal dari kehidupan
berkeluarga adalah dengan melaksanakan perkawinan sesuai dengan ketentuan agama
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang tidak
dilaksanakan dengan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kelak dapat mengakibatkan timbulnya masalah dalam
kehidupan keluarga. Sedangkan hidup sebagai susmi-istri diluar perkawinan
(pernikahan) adalah perzinaan. Dan perzinaan adalah perbuatan terkutuk dan
termasuk salah satu dosa besar.
Dasar dan
tujuan tersebut dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
tercantum dalam pasal 1 dan 2.
Pasal 1 Perkawinan
ialah ikatan lahir-bathin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai
suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pasal 2 ayat
1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hokum masing-masing agamnya
dan kepercayaannya itu. 2. Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan merupakan hal yang sacral bagi manusia yang menjalaninya,
tujuan perkawinan diantaranya untuk membentuk sebuah keluarga yang harmonis
yang dapat membentuk suasana bahagia menuju ketenangan, kenyamanan bagi suami,
istri serta anggota keluarga. Islam dengan segala kesempurnaan memandang
perkawinan adalah suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia, karena islam
memandang perkawinan merupakan kebutuhan dasar manusia, juga merupakan ikatan
tali suci atau merupakan perjanjian suci antara laki-laki dan perempuan.
Disamping itu perkawinan adalah merupakan sarana yang terbaik untuk mewujudkan
rasa kasih saying sesame manusia daripadanya dapat diharapkan untuk
melestarikan proses historis keberadaan manusia dalam kehidupan di dunia ini
yang pada akhirnya keluarga sebagai unit kecil dari kehidupan dalam masyarakat.[13]
3. Dasar Hukum
1.UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan
2. UU No. 32 Tahun
1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk
3. PP No. 9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
4. Kompilasi
Hukum Islam
5. Pendapat Para
Ulama
4. Perkawinan Beda
Agama Menurut Hukum Islam
Istilah perbedaan agama atau ikhtilaf al-din dijumpai
pada pasal 61 KHI. “Tidak sekufu dapat
dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena
perbedaan agama atau ikhtilaf al-din.” Di samping itu didapati pula yang memiliki
padanan kata dengan kata lain yaitu dengan kata orang yang tidak beragama Islam
(non muslim). Ini terdapat dalam pasal 40, 44, dan 116. “Dilarang
melansungkan perkawinan antara seprang pria dengan seprang wanita yang tidak
beragama Islam; pereceraian dapat terjadi karena peralihan agama atau murtad.”
Dengan demikian terlihat bahwa pengertian perkawinan beda
agama di sini adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim baik pria
maupun wanitanya dengan penganut agama lain (non muslim) secara keseluruhan,
tanpa terkecuali pria dan wanitanya berasal dari agama yang mana. Misalnya
perkawinan yang dilakukan oleh seorang muslim dengan penganut agama Kristen
Protestan, atau seorang muslim dengan seorang penganut agama Budha, dan yang
lainnya. Sedangkan perkawinan antara non muslim dengan non muslim lainnya tidak
ada disinggung oleh Kompilasi Hukum Islam. Hal ini terjadi, karena Kompilasi
Hukum Islam hanyalah mengatur tentang ketentuan yang berlaku bagi orang Islam
saja.
Hukum perkawinan berbeda agama dalam pandangan ulama akan
dilihat dalam beberapa literatur terutama dalam penafsiran ulama terkait dengan
ayat-ayat Al-Qur’an yang membincangkan tentang persoalan ini.
Pandangan Imam Al-Quthubi tentang nikah berbeda agama dapat
dilihat dalam kitab tafsirnya al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz 2 halaman
235-236. Ayat yang dijadikan penjelasan adalah Q.S. Al-Baqara ayat 221 dan surat al-Maidah ayat 5. Surah
Al-Baqarah ayat 221 mengharamkan mengawini wanita-wanita musyrikah
kemudian surah al-Maidah ayat 5 menasakh sebagian hukum yang ada di
dalam surah Al-Baqarah ayat 221 tersebut.Wanita-wanita ahlul Kitab
dihalalkan oleh surah al-Maidah ayat 5. Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat
Ibn ‘Abbas, Demikian juga dikatakan oleh Malik bin Anas dan Sufyan bin Sa’id
al-Tsuri dan ‘Abdurrahman bin Umru al-Auza’i.
Menurut
Qatadah dan Sa’id bin Jubair bahwa lafaz ayat 221 surah al-Baqarah tersebut
umum, masuk di dalamnya setiap wanita kafir, tetapi yang dimaksud adalah
khusus. Jadi di dalam ayat itu tidak termasuk al-kitabiyat. Kekhususan tersebut dapat diketahui dari
adanya ayat 5 surah al-Maidah. Pendapat
seperti ini dikatakan juga sebagai salah satu pendapat Imam Syafi’i’. Menurut sebagian ulama bahwa kedua
ayat tersebut (al-Baqarah: 221 dan al-Maidah: 5) tidak bertentangan antara satu
dengan lainnya, karena lafaz al-Syirk tidak meliputi Ahlal Kitab.
b. Penjelasan Hamka Dalam Tafsir
Al-Azhar
Menurut Hamka, yang dimaksud dengan Ahlal
Kitab adalah Yahudi dan Nasrani. Dia tidak memberikan kriteria tertentu
sehingga dengannya Yahudi dan Nasrani tersebut dapat disebut sebagai ahl
al-kitâb. Bahkan, orang nasrani yang mempersekutukan al-Masih dengan Tuhan
pun, dia kategorikan sebagai ahlul kitâb. Hamka berkata:
“Ada yang berkata bahwa Ahlul Kitab
sama juga dengan musyrik, sebab mereka memperserikatkan Allah dengan Isa
Almasih, mengatakan Almasih anak Allah. Padahal soal ini telah diperbincangkan
sebelum ini dalam surah al-Nisa dan akan dibicarakan lagi beberapa ayat sesudah
ini di dalam surat ini sendiri. Soal orang Nasrani mempersekutukan
Almasih dengan Tuhan Allah adalah masalah yang berdiri sendiri. Sekarang datang
ayat ini menjelaskan soal makanan. Teranglah bahwa ayat ini menegaskan,
meskipun mereka Nasrani atau Yahudi mempunyai kepercayaan lain terhadap
Isa Almasih, namun makanan mereka halal kamu makan”.[15]
Hamka mengemukakan pandangan para ulama dalam kitab-kitab
fiqh yang menerangkan bahwa seorang suami muslim, jika diminta oleh isterinya
yang Nasrani tersebut untuk menemaninya ke gereja, patutlah sang suami itu
mengantarkannya, dan dirumah, sang suami
jangan menghalangi isterinya itu untuk mengerjakan agamanya.[16] Kebolehan mengawini perempuan Ahlal Kitabini menurut Hamka adalah
bagi laki-laki muslim yang kuat keislamannya (agamanya). Hamka berkata:
“Kalau ada ‘pertemuan
nasib’, mendapat jodoh perempuan Yahudi atau Nasrani dengan laki-laki Islam
yang kuat keislamannya, tidaklah dilarang”.[17] Bagi
laki-laki muslim yang kuat agamanya, sehingga dia dapat membimbing isterinya
dan keluarga isterinya tersebut ke jalan yang benar atau masuk Islam, maka
perkawinan seperti itu tidak saja boleh tetapi bahkan merupakan “perkawinan
yang terpuji dalam Islam”.[18]
c. Penjelasan M.Qurasih
Shihab
M.Qurasih Shihab. Beliau mengatakan larangan mengawinkan perempuan Muslimah
dengan pria non Muslim – termasuk pria Ahlal Kitab-, diisyaratkan oleh
Al-Qur’an. Isyarat ini dipahami dari redaksi surah Al-Baqarah: 221, yang hanya
berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim dengan wanita Ahlal Kitab,
dan sedikitpun tidak menyinggung
sebaliknya. Sehingga seandainya pernikahan semacam itu dibolehkan, pasti ayat
itu akan menegaskan.
Larangan perkawinan antar pemeluk agama yang bebeda itu agaknya
dilatarbelakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarga.
Perkawinan baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan
hidup antara suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan
budaya, atau bahkan perbedaan tingkat pendidikan suami dan istri pun tidak
jarang mengakibatkan kegagalan perkawinan. Memang ayat itu membolehkan
perkawinan antara pria muslim dan
perempuan Ahlal Kitab, tetapi kebolehan itu bukan saja sebagai jalan
keluar dari kebutuhan mendesak saat itu, tetapi juga karena seorang muslim
mengakui bahwa Isa a.s. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama. Sehingga, pria
yang biasanya lebih kuat dari wanita, jika beragama Islam, dapat menoleranasi
dan mempersilahkan Ahlal Kitab menganut dan melaksanakan syari’at
agamanya. Lakum dinukum wa liya din (bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku)
(Q.S. Al-Kafirun:6).
Shihab menjelaskan bahwa Ahlal Kitab yang boleh dikawini adalah yang
diungkap dalam redaksi ayat di atas: wa al-muhshanat minal ladzina utul kitab.
Kata al-mushshanat di sini berarti wanita-wanita yang terhormat yang
selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan mengagungkan Kitab
suci. Makna terakhir ini dipahami dan penggunaan kata utul yang selalu
digunakan AL-Qur’an untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi terhormat. Itu
sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istila Ahlal Kitab, sebagaimana
dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran Yahudi dan
Kristen.[19]
Dalam menjelaskan ini, Shihab juga mengutip pandangan Mahmud Syaltut dalam
kumpulan fatwanya. Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaedah
syari’ah yang normal, yaitu bahwa suami
memiliki tanggung jawab kepemimpinan terhadap istri, serta memiliki wewenang
dan fungsi pengarahan terhadap keluarga dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang
suami muslim –berdasarkan kepemimpinan yang disandangnya- untuk mendidik
anak-anak dan keluarganya dengan akhlak Islam. Laki-laki diperbolehkan
mengawini non muslimah yang Ahlal Kitab, agar perkawinan itu membawa
misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari istrinya rasa tidak
senangnya terhadap Islam. Dengan perlakuan suaminya yang baik yang berbeda
agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan keutamaan
agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari dampak
perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang
sempurna, lagi tidak sebaik istri.[20]
Selanjutnya Mahmaud Syaltut
menegaskan bahwa kalau apa yang dituliskan di atas tidak terpenuhi,
sebagaimana sering terjadi pada masa kini, maka ulama sepakat untuk tidak
membenarkan perkawinan itu, termasuk oleh mereka yang tadinya membolehkan. Kalau
seorang wanita Muslimah dilarang kawin dengan Non muslim karena kekhawatiran
akan terpengaruh atau berada di bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya,
maka demikian pula sebaliknya. Perkawinan seorang pria Muslim, dengan wanita Ahlal
Kitab harus pula tidak dibenarkan jika dikahwatirkan ia atau anak-anaknya
akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.[21]
F.
RUANG LINGUP DAN TUJUAN
PENILITAN
Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah sebagai brikut :
1. Untuk menjelaskan
dan mengetahui bagaimana cara
penyeludupan hukum untuk melangsungkan perkawinan beda agama.
2. Untuk menjelaskan
dan mengetahui keabsahan
perkawinan beda agama di Indonesia.
Adapun
ruang lingkup dalam penelitian ini adalah sebatas keabsahan perkawinan beda agama menurut undang-undang
perkawinan No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, menurut Kompilasi Hukum Islam
dan menurut Para Ulama.
G.
METODE PENELITIAN
Penelitian
hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika. Dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu
atau beberapa gejala hukum tertentu,
jalan menganalisisnya. Disamping itu, juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu
pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.[22]
Adapun
metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Definisi
Operasional Variabel
a. Penyeludupan hukum adalah Penyelundupan Hukum Wetsontduiking istilah Belanda, Fraude a la
loi istilah Perancis,Fraus legis istilah Latin, Gesetzesumgehung, das Handlen
in fraudem legis istilah Jerman, Frasudulent creation of poin of contacts
istilah Inggris, dan Frode alla legge istilah Italia,Merupakan suatu bagian
ajaran tersendiri teori umum HPI.
b. Pengertian perkawinan ialah ikatan
lahir-bathin antara seorang peria dengan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Cara pengumpulan
data
Untuk memperoleh data yang diperlukan
dalam penulisan ini, dipergunakan metode penelitian kepustakaan (library
Research), dengan mempelajari buku-buku literatur, majalah, dan jurnal, paper
serta mempelajari peraturan perundang-undangan yang ada hubunganya dengan
masalah yang akan di bahas.[23]
Dalam penelitian pada umumnya
mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
diperoleh langsung melalui wawancara/atau survei dilapangan yang berkaitan
dengan prilaku masyarakat. Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui
bahan pustaka. Di dalam penelitian hukum data sekunder dapat digolongkan
menjadi 3 (tiga) karakteristik kekuatan mengikatnya, yaitu sebagai berikut:
1.Bahan hukum primer,
yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari peraturan-peraturan dan
perundang-undangan.
2.Bahan hukum
skunder, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer,
misalnya: rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari
pakar hukum dan sebagainya.
3.Bahan hukum
tertier, yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan
hukum primer dab sekunder. Misalnya: kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan
sebagainya.
3. Analisis data
Setelah
data dikumpulkan data tersebut diidentifikasi, diolah, dan dianalisis, kemudian
disusun kedalam suatu bentuk karya dengan menggunakan metode penelitian
kuantitatif.[24]
Sebaga tata cara proses penelitian yang mengahasilkan data deskriptif melalu
pengumpula data tertulis dan melalui wawancara-wawancara dan dari literatur
yang diamati. Sesuai dengan sumber data yaitu data sekunder yang tediri dari
bahan-bahn hukum primer, bahan hukum sekunder, atau bahan data tersier.
H. JADWAL PENELITIAN
Adapun
jadwal penelitian disini adalah sebagi berikut :
1. Pengumpulan data : 20 hari
2. Pengolahan data : 15 hari
3. Analisis data :
20 hari
4. Penyusunan skripsi : 20 hari
Lamanya
penelitian :75 hari
Banda aceh, 19
Januari 2016
Penyusun
Muhajir
RENCANA KERANGKA
PENELITIAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Ruang Lingkup dan Tujuan
Penulisan
C. Metode Penelitian
D. Sistematika Penulisan
BAB II.
TINJAUAN PUSTAKA TENTANG
PENYELUDUPAN HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA
A.
Penyeludupan Hukum
B.
Pengertian Perkawinan
C.
Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Islam
D.
Pandangan Para Ulama tentang Perkawinan Beda
Agama
BAB III.
KEABSAHAAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA YANG DIIKRARKAN DI LUAR
NEGERI
A.
Proses Penyeludupan Hukum Perkawinan Beda Agama
B.
Keabsahan Perkawinan Beda Agama di Indonesia yang
Diikrarkan di Luar negeri
BAB IV. PENUTUP
A.
KESIMPULAN
B.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR
PUSTAKA
A.
Buku
Abd al-Muta’al Muhammad al-Jabariy, Perkawinan
Antar Agama Tinjauan Islam, alih bahasa M.Azhari Hafim, cet.2, Surabaya:
Risalah Gusti, 1994.
AL-Qurthubi,Al-Jami’ li Ahkam
Al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Hadis, t.t.
1996.
Fakultas Hukum Unsyiah, Buku
Panduan 2007-2012, Banda Aceh, 2007
Hamka, Tafsir
Al-Azhar,(Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 2003.
Khoiruddin, Hokum
Perkawinan , ACAdeMIA & TAZZAFA, Yogyakarta, 2004.
Lely j. Moleong, Metode
Penelitian Kuantitatif PT. Remaja rosdakarya, M.Karsa yuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai
Keadilan Kompilasi Hokum Islam, Total Media, Yogyakarta, 2006
Mahmud Syaltut, Min Taujihat al-Islam, (Kair0
: Al-Idarat al-‘Ammah li Al-Azhar, 1959.
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia, (Jakarta: MUI,edisi III, 2010.
Pagar, Perkawinan Berbeda Agama Wacana dan
Pemikiran Hukum Islam Indonesia, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2006.
Soeryono Suekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI
press, 1981.
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Internasional, PT. Raja Grafindo, 2014.
B. Peraturan Perundang-Undagan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam
C. Jurnal, Makalah, Karya Ilmiah
Faisal A. Rani, metode penelitian Bidang Ilmu
Humaniora, Makalah yang disajikan pada lokakarya peningkatan kualitas
Penelitian, yang diadakan oleh Lembaga penelitian Universitas Syiah Kuala,
Selasa, Banda Aceh, 21 Oktober 2003.
Pranoto, Perkawinan Beda Agama antar Warga Negara
Indonesia di Luar Negeri. Privat Law, Vol II, 2014.
Quraish Shihab, “Ahlal Kitab” dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.), Rekonstruksi
dan Renungan Religius Islam, cet. 1, (Jakarta: Paramadina, 1996.
D.
Intenet
http://hukumperdatainternational2014.blogspot.com/2014/12/penyelundupan-hukum.html.
[8] Pagar,
Perkawinan Berbeda Agama Wacana dan Pemikiran Hukum Islam Indonesia,
(Bandung: Cita Pustaka Media, 2006). Hal. 93-95.
[11] Khoiruddin, Hokum Perkawinan , ACAdeMIA &
TAZZAFA, Yogyakarta, 2004, Hal 17.
[12] M.Karsa yuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-Nilai
Keadilan Kompilasi Hokum Islam, Total Media, Yogyakarta, 2006, Hal 5
[14] Majelis Ulama
Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: MUI,edisi
III, 2010). Hal. 472-477
[15] Hamka, Tafsir Al-Azhar,(Singapura: Pustaka
Nasional Pte Ltd, 2003), Cet. V, Juz VI,
Hal. 139.
[22] Soeryono Suekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI
press, 1981, Hal 43
[23] Faisal A. Rani, Metode Penelitian Bidang Ilmu Humaniora, Makalah Yang Disajikan
pada Lokakarya Peningkatan Kualitas Penelitian, yang diadakan oleh Lembaga
Penelitian Universitas Syiah Kuala, selasa, 21 oktober 2013, di Banda Aceh,
Hal. 18
Comments
Post a Comment