Globalisasi Dan Isu Demokrasi: Memformulasikan Peran Negara Menjadi "Centric Actor"

Globalisasi Dan Isu Demokrasi: Memformulasikan Peran Negara Menjadi "Centric Actor"
Oleh,[1][1]
Abstrak
Demokrasi liberal telah menang dari penantangnya “communism ideology”.Diera milenium dampaknegatif globalisasi terhadap sendi-sendi kehidupan umat manusia menjadikan demokrasi liberal di kecam dari berbagai penjuru. Kecaman itu datang karena seiring derasnya arus globalisasi, juga komersialisasi semakin membabi buta, khususnya di negara dunia ketiga. Kalaborasi antara globalisasi, komersialisasi dan kapitalisme semakin mengikis prinsip otonomi negara sehingga skeptisme terhadap keunggulan demokrasi liberal dalam mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat di seantaro dunia pun bermunculan di permukaan, khususnya dari Prof. Budi Winarno. Terkikisnya otoritas negara diikuti dengan krisis demokrasimenjadi kausal bagi Budi Winarno menawarkan demokrasi kosmopolitan (visi demokrasi kosmopolitan) sebagai solusi walaupun itu utopis.
Key Word
Demokrasi liberal, globalisasi dan krisis demokrasi.
Pendahuluan
          Sangat kompleks ketika membahas demokrasi liberal karena pastinya tidak lepas dengan kapitalisme dan komersialisasi. Selain produktivitas ekonomi, kapitalisme juga sejalan dengan kebebasan politik (demokrasi). “Semua demokrasi,” tulis Peter Berger, “adalah kapitalis; tidak ada demokrasi yang sosialis.[2][2]Jalannya demokrasi liberal akan semakin membuka peluang terciptanya masyarakat kapitalis atas komersialisasi yang semakin meluas.Apalagi di negara-negara berkemabang, terutama negara yang terjangkit krisis moneter pada penghujung tahun 1990-an, Indonesia misalnya. Indonesia dalam membangun kembali perekonomiannya, dipaksa untuk meminjam dana dari IMF. Syarat yang harus dipenuhi oleh negara – negara ketika meminjam dana di IMF adalah pemerintah menandatangani Lol. Lol ini berisi program-program penyesuaian struktural yang berisi tiga pokok, yakni liberaisasi, deregulasi, dan privatisasi.[3][3]
          Di jaman umat manusia saat ini dan akan menjadi sejarah di waktu yang akan datang bahwa demokrasi liberal telah mengalami kejayaan besar atas kemenangannya dalam pertarungan melawan ideologi sosialis – komunis lebih dari dua dekade yang lalu.[4][4] Kejayaan demokrasi  liberal telah dihadapkan pada tantangan yang sebenarnya sudah lama menjadi sejarah umat manusia, yaitu kemiskinan dan berbagai macam ketimpangan. Demokrasi liberal sebagai satu-satunya sistem pemerintahan yang diimplementasikan oleh sebagian besar negara-negara didunia telah dimintai  tanggung jawab atas kesejahteraan dan kemakmuran umat manusia di dunia. Bukan hanya itu, tetapi kejayaan demokrasi liberal juga harus bertanggung jawab atas keberlangsungan prinsip-prinsip demokrasi ditataran global, maksudnya keadilan dan persamaan harus dijunjung didalam organisasi supranasional, seperi di IMF, World Bank, dan WTO.
          Demokrasi liberal juga dihadapkan pada kekuasaan negara yang semakin berkurang, khususnya di negara berkembang yang pemerintahannya lemah. Budi Winarno dalam melihat pengaruh globalisasi yang beraneka ragam mengatakan bahwa satu-satunya yang paling krusial adalah bagaimana negara harus didefinisikan.[5][5] Selain itu, negara-negara berkembang juga dihadapkan pada produk demokrasi liberal yaitu semakin berpengaruhnya perusahaan Multinasional dan transnasional baik ditingkat nasional, regional maupun di lembaga-lembaga supranasional, seperti di WTO.Ketidakadilan atau tidak jalannya demokrasi yang ideal di tataran global menjadi refleksi bagi Budi Winarno mengajukan demokrasi kosmopolitan sebagai solusi konkrit dalam meminimalisir berbagai macam ketimpangan yang terjadi baik ketimpangan di tataran global sampai ke tingkal nasional, di Indonesia misalnya.
Pembahasan
A. RalasidemokrasidanGlobalisasi
          Secara teoritis definisi demokrasi lebih dari dua[6][6], tergantung ideologi apa yang dianut oleh subjek yang mendefinisikannya.[7][7] Tetapi inti dari definisi demokrasi yang ideal adalah “dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat”, ungkap Abrahan Lincoln. Pertanyaan yang timbul sebagai refleksi dari definisi demokrasi ideal, sistem seperti apakah yang diimplementasikan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat?. Berbagai macam ideologi atau paham ekonomi politik yang berkembang dan semakin maju dari waktu ke waktu dan kemudian ideologi manakah yang paling relevan dalam mengejewantahkan demokrasi ideal atau demokrasi substantif?. Dan pertanyaan terakhir, ideologi apa yang bertahan sampai detik ini secara mengglobal.
Sungguh begitu kompleks untuk menjawab pertanyaan nomor satu dan dua diatas, tetapi pertanyaan yang ke tiga, penulis kira lumayan mudah. Demokrasi liberal dianalogikan oleh Francis Fukuyama sebagai manusia terakhir, maksudnya demokrasi liberal telah menang dalam kompetisi pertarungan ideologi, khususnya dengan sosialis – komunis.[8][8] Tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi liberal telah dianut oleh sebagian besar negara-negara didunia mulai pertengahan abad 20 dan terus berkembang sampai awal abad ke 21. Sejak tahun 1980-an, 33 rejim militer telah digantikan oleh pemerintahan sipil, sementara 140 negara dari hampir 200 negara sekarang ini melakukan pemilihan umum multipartai.[9][9]
Semakin banyaknya negara-negara didunia yang mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi liberal baik secara prosedural maupun nilai-nilai yang dibangun dan dipegangnya. Demokrasi liberal yang diagung-agungkan oleh masyarakat dalam sebuah wilayah atau negara tertentu di seluruh penjuru dunia dan kemudian diadopsi menjadi sistem negara atau pemerintahan adalah sesuatu yang tidak mustahil. Manusia pada fitrahnya untuk bebas, karena kebebasan tertinggi manusia adalah kehendak untuk bebas.[10][10] Hal tersebut menjadi salah satu pegangan kuat bagi kaum liberal, yang pastinya tidak bertolak belakang dengan moral dan etika ketika diipmlementasikan oleh setiap individu dengan baik. Sebagaimana prinsip hak yang universal bahwa batas hak kebebasan seseorang adalah kebebasan orang lain.
Demokrasi liberal telah mencapai kejayaan gemilang mulai paska perang dingin sampai detik ini, yang sebelumnya tidak dinikmati oleh ideologi sosialis – komunis sebagai penentang beratnya. Penjelasan bapak Budi Winarno terkait “Globalisasi dan Isu Demokrasi” sungguh membantu untuk memahami relasi antara demokrasi liberal dan globalisasi. Derasnya arus globalisasi telah mempengaruhi jalannya demokrasi substantif sehingga Winarno skeptis dalam melihat demokrasi liberal sebagai jalan satu-satunya untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Okelah, masyarakat menikmati kebebasan ekonomi dan kebebasan politik tetapi apalah gunanya jika didalam masyarakat semakin tercipta kemiskinan dan ketimpangan, misalnya di Indonnesidan Negara-negaraberkembanglainnya. Ketimpangan dan kemiskinan dalam sebuah negara secara tidak langsung dipengaruhi atas ketidakadilan atau penghianatan demokrasi yang terjadi di organisasi-organisasi supranasional. Demokrasi murni yang tidak jalan di organisasi supranasional karna implikasi dari pengaruh perusahaan multinasional dan supranasional.[11][11]
Biarkanlah globalisasi berjalan sesuai bentuknya sendiri, karena kepentingan globalisasi adalah tujuan bagi dirinya sendiri. Bagipenulis tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan derasnya arus globalisasi, karena kepercayaan bahwa manusia diadakan karena sudah fitrahnya untuk berfikir “the power of thinker”[12][12] sesuai apa yang terbaik bagi dirinya sendiri. Budi Winarno datang dengan ketajaman, kematangan dan kedewasaan dalam melihat kondisi yang menyerang sendi-sendi kehidupan umat manusia di seantaro dunia akibat derasnya globalisasi. Tulisan beliau di bab lima terkait “Globalisasi dan Isu Demokrasi” telah memberikan kita pemahaman terkait letak pengaruh globalisasi terhadap demokrasi. Atas jasa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di abad milenium yang menjadi waktu sejarah kita dimasa akan datang globalisasi tidak dapat dibendung atau dihindari.
B. Lembaga Melampaui Kekuatan Negara
            Terkaitpembicaraanmasalah politik, globalisasi memiliki peranan penting dalam menjamurnya isu-isu negara demokrasi. Ketika membicarakan masalah mengenai demokrasi dan globalisasi, ada beberapa hal yang menjadi penting untuk dibahas, yang pertama ialah melalui adanya demokrasi, maka banyak negara yang berkesempatan untuk merdeka dari rezim yang otoriter, memiliki strukutur pemerintahan yang lebih baik dan juga adanya hak yang sama bagi masyarakatnya. Akan tetapi terdapat pula hal yang tidak bisa dipungkiri akibat adanya efek dari globalisasi  ialah mengenai bahwa ada indikasi jika demokrasi saat ini tidak lagi pure, akan tetapi telah ditunggangi dengan kepentingan-kepentingan negara maju lainnya maupun negara barat. Dalam hal ini bisa dilihat dari semakin banyak negara yang menggunakan sistem demokrasi liberal, maka perusahaan-perusahaan TNC ataupun MNC semakin banyak.
          Lembaga-lembaga Multilateral seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO yang bukan hanya mempunyai kekuasaan ekonomi, tetapi juga politik yang sangat besar. Lembaga-lembaga ini diharapkan agar bersifat bijak atau pro terhadap keadilan demi mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat internasional atau dunia. Tetapi yang terjadi malah ketimpangan, karena mereka bertolak belakang dengan tujuan diadakannya mereka, dimana keberadaannya lebih merefleksikan kepentingan-kepentingan perusahaan transnasional dibandingkan dengan  warganegara diseluruh dunia. Makanya didalam lembaga-lembaga yang melampaui kekuatan negara telah terjadi pembajakan demokrasi (garis miring istilah dari demos). Perusahaan-perusahaan multinasional merupakan aktor penting dalam globalisasi ekonomi yang tengah berusaha mengintegrasikan pasar-pasar nasional kedalam perekonomian global melalui perdagangan lintas batas negara, baik dalam bentuk perdangan antara perusahaan dengan pihak luar, dan melalui aliran investasi yang mengalir melintasi batas-batas negara nasional.[13][13]
          Peran perusahaan-perusahan Multinasional yang begitu dominan baik ditataran nasional maupun sampai di tingkat global. Thedore Lowi menyebut era ini sebagai  a corporate millennium yang di interpretasikan kedalam model hegemoni swasta dan pasar bebas (unregulated market), Gilpin menyebut era sekarang ini sebagai jaman keemasan perusahaan Multinasional. Kapitalisme merupakan pondasi demokrasi dan pasar bebas dan dalam kapitalisme demokrasi dapat dijual kepada penawar tertinggi, dan bahwa pasar bebas sebenarnya direncanakan secara terpusat oleh megakorporasi global yang ukurannya lebih besar dari banyak negara yang ada.[14][14] Kekuasaan perusahaan multinasional ini menjadi semakin besar ketika kita melihat kenyataan bahwa mereka mempunyai akses terhadap lembaga –lembaga multilateral semacam WTO, Bank Dunia, dan IMF. Menurut Herts, banyak aturan-aturan yang dibuat dalam WTO untuk kepentingan perusahaan, dan perusahaan itu sendiri memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk aturan tersebut.
          Menarik, Joseph E. Stiglitz telah menuding kedua lembaga multilateral IMF dan Bank Dunia tidak meletakkan hak-hak pilih pada prinsip-prinsip masyarakat yang demokratis. Sebagian besar suara jatuh ke negara-negara industri kaya. Lembaga-lembaga multilateral ini telah menjadi kekuatan politik yangs sangat kuat, tetapi tidak sama sekali demokratis sebagaimana yang dikemukakan Stiglitz diatas.[15][15]Selain itu, ketika memutuskan untuk menjadi demokrasi, suatu negara harus siap jika hukum internasional akan masuk ke dalam lingkup hukum nasional, contohnya perusahaan-perusahaan TNC telah dilindungi oleh hukum bisnis internasional, maka mau atau tidak, negara harus mengikuti aturan main dengan membuat undang-undang yang berisikan pernyataan keamanan bagi perusahaan-perusahaan TNC tersebut, tidak jarang ada fenomena bahwa hukum nasional tersebut tidak dapat melindungi kepentingan rakyat maupun kepentingan nasional suatu negara.Dan juga mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan instabilitas keuangan global, yang mana saat ini sedang dikuasai oleh neoliberal. Yang ditandai dengan meningkatnya atau menguatnya kekuasaan baik ekonomi-politik pada segelintir orang atau sekelompok orang.[16][16] Dan hal ini yang menyebabkan kekacauan pada beberapa negara, terutama negara yang berada di dunia ketiga.
Selain itu globalisasi dan demokrasi juga menimbulkan efek semakin kuatnya wewenang lembaga-lembaga ekonomi global. IMF, WORLD Bank, dan WTO sering kali mengambil alih kewenangan pemerintahan suatu negara apabila dinilai sudah tidak dapat mengatasi krisis ekonomi yang memuncak[17][17]. Demokrasi bukan lagi pure sebagai sistem politik, akan tetapi saat ini telah ada konsep yang mengatakan bahwa demokrasi bukan hanya merupakan sistem politik maupun sistem pemerintahan saja, akan tetapi dibalik itu semua terdapat agenda-agenda yang sengaja diselipkan demi kemakmuran sebagian orang.Salah satunya ialah, ketika berbicara mengenai masalah demokrasi maka tidak bisa dipisahkan dengan permasalahan liberalisasi ekonomi atau saat ini lebih dikenal dengan sebutan neoliberalisme. Neoliberalisme mengakibatkan adanya pasar bebas maupun masuknya perusahaan-perusahaan transnasional ke dalam sebuah negara. Tentu saja liberalisasi ekonomi akan memiliki dampak yang berbeda bagi kelompok negara-negara maju, dan kelompok-kelompok negara berkembang meskipun pada dasarnya mereka menggunakan sistem demokrasi.
Menurut data yang ada pada kisaran tahun 1990an, TNCs telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, yaitu dari 7000-an perusahaan yang berdiri pada tahun 1970-an, menjadi sekitar 37.000 perusahaan yang menyebar ke seluruh dunia.[18][18]Ketika globalisasi tidak dapat dibendung, maka perusahaan-perusahaan transnasional akan semakin mengalami kemajuan,  Pada saat yang lalu saja mereka berhasil menguasai 67% perdagangan dunia antar TNCs dan menguasai 34,1% total perdagangan global. Lebih lanjut TNCsjuga telah menguasai 75% total investasi global. Ada 100 TNCs saat ini yang menguasai ekonomi dunia. Mereka mengontrol sampai 75% perdagangan dunia[19][19].Hal ini tentu saja memberikan efek tersendiri bagi suatu negara, karena saat ini perusahaan-perusahaan tersebut tidak hanya mempengaruhi permainan bisnis, akan tetapi telah merembet ke dalam politik demokrasi[20][20]. Dan saat ini perusahaan-perusahaan tersebut telah mampu untuk mempengaruhi pembuatan keputusan suatu negara.
Tentu saja pengaruh perusahaan-perusahaan tersebut akan menimbulkan nilai yang positif bagi kemajuan perusahaan tersebut, akan tetapi tidak sedikit yang memberikan efek negative bagi negara sendiri.Negara pun seperti kesulitan untuk bertindak, karena perusahaan-perusahaan tersebut dilindungi oleh hukum internasional dan memiliki akses untuk melobi lembaga-lembaga  multilateral semacam WTO, Bank Dunia dan IMF. Dan lembaga-lembaga tersebut pada dasarnya cenderung bersifat tidak demokratis dalam pengambilan kebijakan yang cenderung dikuasai oleh negara-negara maju. Contohnya saja  bank dunia, kekuatan pengambilan keputusan formal didasarkan pada banyaknya sumbangan modal yang diberikan. Amerika Serikat menjadi pemegang saham yang terbesar, meskipun Jepang telah ditekan untuk memberikan saham yang lebih besar, akan tetapi Amerika Serikat mampu membatasi saham modalnya dan mengumpulkan suara sampai 8 persen[21][21].
Kekuatan formal tersebut semakin kuat ketika ditambah dengan “tradisi”  presiden bank selalu warga amerika Serikat yang ditunjuk oleh pemerintahan Amerika Serikat sendiri, dan lokasi bank selalu berada di Wagshinton DC, hal ini memberikan akses yang mudah kepada Departemen Keuangan Amerik Serikat dan membantu memastikan bahwa negara tersebut mempertanggung jawabkan seperempat dari manajemen senior dan staf profesional[22][22]. Dewan Keamanan bukan satu-satunya lembaga global yang menghadapi bahaya kehilangan legitimasi karena kurangnya legitimasi demokratis. IMF dan World Bank nyaris berada dalam situasi yang sama. Salah satu anomali paling aneh di jaman kita adalah praktek bahwa tak satu pun negara Asia dapat memimpin entah itu IMF atau Bank Dunia, dua lembaga ekonomi global terdepan. Ada suatu ‘peraturan tidak tertulis tapi kuat terasakan sejak pendirian dua lembaga keuangan ini setelah perang dunia kedua adalah bahwa kepada IMF hendaknya dari Eropa Barat dan Ketua Bank Dunia adalah orang AS. Sungguh peratuan ini adalah suatu hal yang memalukan baik bagi IMF maupun Bank Dunia.[23][23]
Hal tersebutlah yang membuat ragu masyarakat dunia terhadap akan “rasa demokratis “ yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tersebut. Sehingga banyak kritikan terhadap perusahaan-perusahaan TNC atas perjanjian yang dibuat dengan negara yang ditempati, maupun mengenai kebijakan lembaga tersebut sendiri.
C. Kembali Memperkuat Negara   
          Globalisasi tidak dapat ditolak dan terhindarkan dari kehidupan manusia di jaman post-moderenisme saat ini. Dunia telah memperlihatkan kepada kita begitu suksesnya globalisasi dalam mempengaruhi kedidupan umat manusia. Globalisasi ekonomi, informasi dan budaya telah mempengaruhi berbagai kehidupan dunia masa kini, termasuk dunia kehidupan urban.[24][24] Globalisasi sukses dalam mempengaruhi pola hidup dan pola berpikir umat manusia, tetapi yang begitu krusial adalah kemiskinan dan ketimpangan. Hadirnya globalisasi dan dikuti oleh ideologi demokrasi liberal memberikan tugas berat bagi semua negara yang ada didunia, terutama negara-negara yang menganut sistem demokrasi liberal. Karena secara otomatis, sistem yang diterapkan pastinya diharapkan dapat membangun negara menjadi lebih baik dari sebelumnya.
          Tidak ada lagi jalan bagi negara-negara dunia untuk menolak globalisasi, karena dengan derasnya arus globalisasi, pengaruhnya telah berhasil masuk ke sendi-sendi kehidupan umat manusia sampai ke pelosok-pelosok dunia. Negara-negara sebelumnya sangat kuat memperjuangkan ideologi sosialis – komunis telah dikalahkan oleh demokrasi liberal, kemungkinan besar karena pengaruh globalisasi dan ketidakmampuan sistem sosialis komunis dalam memenuhi harapan rakyatnya. Seiring derasnya arus globalisasi, negara mendapat tugas berat yaitu bagaimana negara berperan besar dalam mensejahterakan rakyatnya. Logikanya, ketika masyarakat tidak sejahtera, dimana-mana masyarakat terjangkit kelaparan dan selalu meras ternacam, pastinya negara yang disalahkan. Negara yang tidak sanggup untuk menghindarkan rakyatnya dari hal-hal yang menakutkan bagi warga negaranya tergolong pemerintah lemah.
          Untuk memahami lebih lanjut terkait dengan bagaimana mengembalikan peran negara, penulis berkiblat ke orderan Francis Fukuyama, karena Budi Winarno hanya menyajikan sedikit dari sekian banyak bagaimana mempertahankan otonomi negara. “ Menurut Held, kedaulatan ini harus dibedakan dengan otonomi yang merujuk pada kemampuan para pemimpin dan agen negara untuk mencari pilihan-pilihan kebijakan mereka sendiri tanpa terpaksa mengambil bentuk kalobarasi dan kerjasama internasional.[25][25] Jadi, penekanan dari Held adalah pemimpin yang bijak, dimana dalam mengambil keputusan tidak terdapat kontradiktif dengan kepentingan warga negaranya. Selain itu tidak ada paksaan terhadap suatu pemimpin, dalam hal ini pemimpin negara dalam mengambil keputusan yang menyangkut kerjasama dengan negara lain dan tidak adanya intervensi dari negara lain ketika waktu pengambilan keputusan, misalnya di lembaga-lembaga supranasional.
          Untuk lebih memahami bagaimana negara harus diperkuat maka terdapat beberapa hal yang perlu di perhatikan dan tentunya menyangkut masyarakat. Bagi Fukuyama, aksi-aksi terorisme, penyebaran penyakit, bertahannya tingkat kemiskinan, serta merebaknya perang sipil bukanlah hal-ikhwal yang berdiri sendiri. Peristiwa-peristiwa itu merupakann gejala politik dimana negara sebagai institusi terpenting dalam masyrakat gagal menjalankan perannya.[26][26] Menurut Fukuyama, beberapa gejala kegagalan diatas telah menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia pada awal abad ke- 21. Karena dalam negara demokrasi liberal peran negara sangat butuhkan. Sebagaimana keyakinan Ludwiq, Negara merupakan sebuah keharusan mutlak,karena tugas paling penting diemban oleh negara: perlindungan tidak hanya terhadap hak milik pribadi, tetapi juga terhadap perdamaian , karena tanpa perdamaian, keuntungan penuh hak milik pribadi tidak dapat di tuai.[27][27]
          Fukuyama yang sebelumnya berkiblat pada meminimalisir peran negara sejak paska perang dingin telah meninjau kembali pemikirannya yang pernah ditulis dalam “The end of history and the last man” yaitu minimnya peran negara. Tetapi dalam bukunya “Memperkuat Negara”, negara harus berperan besar dalam sendi-sendi kehidupan umat manusia demi kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Fukuyama berpendapat bahwa sudah saatnya kita mempekuat peran negara, lebih jauh lagi dia berkata pandangan kaum pro-pasar pada 1980-an mungkin agak simplistis. Waktu itu, sebagai reaksi atas merebaknya berbagai bentuk statisme, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara sedang berkembang kaum liberal menyodorkan alternatif deregulasi, debirokritisasi, rpivatisasi dan semacamnya. Alternatif semacam ini menjadi penggerak perubahan ekonomi, yaitu dengan memangkas intervensi ekonomi negara ke tingkat yang minimal.
          Alternatif diatas, sebenarnya membawa hasil-hasil yang menggembirakan:pertumbuhan ekonomi, pengurngan kemiskinan, dan integrasi pasar. Namun dalam beberapa hal, ia justru membawa problematika baru: berkurangnya peran negara dalam ekonomi juga terkait dengan merosotnya kapasitas negara untuk melakukan fungsinya yang memang diperlukan. Hal tersebutlah yang mengakibatkan gejala kegagalan negara, dengan akibat yang menyedihkan.[28][28] Peran negara harus dipahami dalam dua dimensi, yaitu cakupan (scope) maupun kekuatan atas kapasitas (strength). Suatu negara yang kuat ditandai oleh kemampuannya menjamin bahwa hukum dan kebijakan yang dilahirkan ditaati oleh masyarakat, tanpa harus menebarkan ancaman, paksaan, dan kecemasan yang berlebihan
          Elemen dasar yang ada pada negara yang kuat adalah otoritas yang efektif dan terlembaga. Jika terjadi pelanggaran atau penentangan terhadap otoritas ini, ia mampu mengatasinya, kalau perlu dengan alat-alat pemaksa yang secara sah dikuasainya. Hanya dengan kekuatan semacam inilah negara mampu menjaga keamanan, ketertiban, kebebasan, serta – jika bersifat intervensionis – mampun mewujudkan kesejahteraan dan keadilan ekonomi. Jika negara tidak mampu menjaga otoritas semcam ini, ia disebut sebagai negara lemah. Ia mengajak kita untuk lebih banyak memperhatikan masalah penguatan kapasitas dan otoritas negara dalam melakukan perannya. Di abad ke 20, banyak negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin melakukan ekspansi kegiatan ekonomi besar-besaran, tanpa daya dukung kelembagaan yang memadai.[29][29] Mereka sangat ambisius ingin mengatur begitu banyak aspek kehidupan, tetapi kemampuan pemerintahan mereka begitu lemah, baik ketidakmampuan administratif maupun karena perilaku korupsi dan semacamnya. Akibatnya adalah kegagalan dan bencana kemanusian dan menyedihkan. Kebebasan dan kesejahteraan ekonomi tidak mungkin tercapai tanpa hadirnya negara yang mampu menjalankan perannya secara efektif. Sebaliknya negara yang kuat tanpa menjamin kebebasan dan kesejahteraan tidak akan mampu bertahan lama.[30][30]
D. Visi demokrasi kosmopolitan[31][31]
            Dengan berbagai kontradiksi yang diakibatkan oleh aktor-aktor yang berkepentingan dalam memanpaatkan derasnya laju globalisasi, Budi Winarno menawarkan demokrasi kosmopolitan. Beliau meyakini bahwa demokrasi masih bisa diandalkan sebagai suatu sistem dan juga mekanisme pemerintahan yang menjamin prinsip akuntabilitas selagi ia bisa berjalan sebagaimana mestinya. Bagaimana mendemokratisasikan lembaga-lembaga kekuasaan global dan pada waktu bersamaan mencari jalan alternatif atas paradigma dominan, neoliberal. Gagasan demokrasi kosmopolitan tidak bisa dilepaskan dari konteks “the reconfiguration of politic power”. Demokrasi kosmopolitan dipahami sebagai demokrasi yang memperhitungkan interlocking proses-proses politik dan ekonomi pada level lokal, nasional, dan global dan akan terjadi demokratisasi ganda (double-democratized). Demokrasi akan diperkuat di tingkat nasional dan organisasi-organisasi internsional, baik melalui masyarakat sipil maupun melalui wakil-wakilnya.
Demokrasi kosmopolitan ini disokong oleh keadailan distributif (distributive justice). Ini diberikan untuk memberikan legitimasi terhadap lembaga-lembaga governance global dan tatanan dunia pada saat negara menghadapkan penekanan kembali. Agar model demokrasi kosmopolitan ini dapat dilaksanakan, terdapat beberapa proses yang harus berlangsung. Pertama, langsung diambil dari Held, hukum publik demokratis ini perlu ditunjang oleh struktur hukum internasional yang ia sebu sebagai hukum demokratis kosmopolitan. Kedua, model demokrasi kosmopolitan akan mengusahakan terciptanya legistlatif dan eksekutif transnasional yang efektif pada tingkat regional dan global, yang terkait oleh dan syarat-syarat hukum demokratis pokok.
Penutup
            Paska perang dingin globalisasi tidak dapat dibendung lagi karena seiring dengan menangnya demokrasi liberal. Visi dari demokrasi liberal yaitu bagaimana semua masyarakat bisa menikmati yang namanya kebebasan dan persamaan. Tinggal sedikit negara-negara di dunia yang tidak menganut sistem demokrasi liberal. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu suksesnya demokrasi liberal telah dihadapkan pada permasalahan yang krusial bagi umat manusia yaitu kemiskinan dan ketimpangan. Ketimpangan yang terjadi baik dalam negara maupun lembaga-lembaga global menjadi tantangan berat bagi sistem demokrasi liberal. Dimana demokrasi liberal mengagung-agungkan persamaan tetapi banyak dari penganutnya tidak mengimplementasikan demokrasi secara murni. Berangkat dari itu, negara-negara yang berada di dunia ketika tidak banyak berkutip atas bungkangan yang dihadapinya ketika berhadapan dengan kekuatan besar.
            Kekuasaan negara harus di formulasikan kembali guna menanggulangi hal-hal yang menyebabkan ketimpangan dan kemiskinan. Selain itu demokrasi kosmopolitan, walaupun sesuatu yang utopis, tetapi harus diperjuangkan demi kemaslahatan manusia dimuka bumi. Karena tanpa realisasi demokrasi kosmopolitan maka secara tidak langsung akan menghasilkan implikasi yang lama kelamaan bertabah besar pada sendi-sendi kehidupan umat manusia.


Referensi
Bello, Walden. “Deglobalization:Ideas For a New World Economy (de-globalisasi : gagasan-gagasan Ekonomi Baru)”.Bantul:Pondok Edukasi. 2004.
Budi Winarno, Budi. Isu-Isu Global Kontemporer”. Yogyakarta: CAPS.2011.
Fukuyama, Francis. The End Of History and The Last Man, Yogyakarta:CV.QALAM. 2011.
Hegel, G.W.F. “Filsafat Sejarah”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2012.
Mallarangeng, Rizal. Dari Langit. Jakarta: Freedom Instute.2010.
Misses, Ludwiq Von. “Menemukan Kembali Liberalisme”, Jakarta: Freedom Institute dan FNS. 2011.
Mahbubani, Kishore.“Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global Ke Timur Yang Tak Terelakkan”, Jakarta: Kompas. 2011.
Piliang, Yasraf Amir.“Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan”¸ Bandung: Matahari. 2011.
Internet:
Fakih, Mansour. “neoliberalisme dan globalisasi. Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004. Diakses dari http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/onno/cd al manaar digilib/bahan/8.%20EKONOMI%20POLITIK/3.%20Neoliberalisme%20dan%20Globalisasi.pdf (Diakses pada pada 8 November 2012 pkl. 16:32 WIB)




*Tugas matakuliah Internasionaldan Domestik semester V  jurusan Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang bersamadosenMrs. Ayusia Sabhita Kusuma, S.IP, M. Soc. Sc
[1][1] Kelompok I: Muhammad Jusrianto (201010360311006); Okky Fitranada (2010103603011), Anas Prayogo (201010360311013; dan Jefri Indo (201010360311007). Penulis Muh. Jusrianto.
[2][2] Lihat, Rizal Mallarangeng, 2010, “Dari Langit”, Jakarta: Freedom Instute, Hal.,394.
[3][3] Lihat, Budi Winarno, 2011, “Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, Hal., 134.
[4][4] Untuk lebih memahami kemenangan demorasi liberal dari sosialis komunis dapat di jumpai dalam, Francis Fukuyama, 2011, “The End Of History and The Last Man”, Yogyakarta:CV.QALAM, Hal., 439 – 495.
[5][5]Op.Cit, Hal.,126.
[6][6] Macam-macam teori demokrasi: Teori elit demokrasi (elit governent dan elit counter), teori pluralis, teori marxis, perspektif kelas, diktator proletariat dan teori empiris demokrasi.
[7][7] Didapatkan dari kuliah “Demokrasi dan Civil Society” yang disampaikan oleh Bapak Gonda Yumitro.
[8][8] Baca lebih lanjut, Francis Fukuyama, “The End Of History and The Last Man”, Yogyakarta:CV.QALAM, Hal., 439 – 495.
[9][9] Dennis M. Rosseau and Andrea Rivero, 2003. “Democracy, A Way of Organizing Knowledge Economy”, Journal of management inquiry, Vol.12.No.2 June 2003., Hal.115. Dalam, Budi Winarno, 2011, “Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, Hal., 123.
[10][10] Kehendak tertinggi adalah kehendak untuk bebas oleh hegel. Baca lebih lanjut, G.W.F. Hegel, 2012, “Filsafat Sejarah”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Hal., 1-152.
[11][11]Op.Cit, Hal., 122-144.
[12][12] Isiah Berlin sangat percaya pada fitrah manusia yaitu kekuatan berfikir.
[13][13]Op.Cit,Hal.,136-137.
[14][14] Ibid.[14] 
[14][15] Ibid.

[16][16]Ibid, hal., 127
[17][17] ibid
[18][18] Mansour Fakih.neoliberalisme dan globalisasi. Ekonomi Politik Digital Journal Al-Manär Edisi I/2004 diakses dari http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/onno/cd al manaar digilib/bahan/8.%20EKONOMI%20POLITIK/3.%20Neoliberalisme%20dan%20Globalisasi.pdf pada 08-11-2012 16:32 WIB
[19][19] ibid
[20][20] David Korten, 2002. The post Corporate World : Life After Capitalism The Post Corporate World: (kehidupansetelah kapitalisme), alih bahasa A. Rahman Zainudin, Jakarta: Yayasan Obar, hal74 dalam , Winarno, Op, cit ., hal137
[21][21] Walden Bello. Deglobalization : Ideas For a New World Economy (de-globalisasi : gagasan-gagasan Ekonomi Baru). Januari 2004.Pondok Edukasi.Bantul.hal: 84
[22][22]Global Capitalism: Can It Be Made to Work Better, 6 November 2000. business Week. Hal 42-43 dalam ibid.
[23][23] Lihat, Kishore Mahbubani, 2011, “ Asia Hemisfer Baru Dunia: Pergeseran Kekuatan Global Ke Timur Yang Tak Terelakkan”, Jakarta: Kompas, Hal.,300.
[24][24] Lihat, Yasraf Amir Piliang, 2011, “Dunia Yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan”¸ Bandung: Matahari, Hal., 207.
[25][25] Lihat, Budi Winarno, 2011, “Isu-Isu Global Kontemporer”, Yogyakarta: CAPS, Hal., 127.
[26][26] Lihat, Rizal Mallarangeng, 2010, “Dari Langit”, Jakarta: Freedom Instute, Hal.,210.
[27][27] Lihat, Ludwiq Von Misses, 2011, “Menemukan Kembali Liberalisme”, Jakarta: Freedom Institute dan FNS, Hal., 46.
[28][28]Op.Cit
[29][29] Ibid, Hal., 211-213.
[30][30] Ibid.


Comments