BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan Pada Masa Penjajahan Kolonial Belanda
Penaklukan bangsa Barat
atas dunia Timur dengan jalan perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer.
Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi
tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan
untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula di bidang pendidikan. Mereka
memperkenalkan sistem danmetode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga
yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan
dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut
pembaharuan pendidikan itu adalah westernisasi dari Kristenisasi yakni untuk
kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan
penjajahan Barat di Indonesia selama ± 3,5 Abad[1].
Pemerintah Belanda mulai
menjajah Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu ketika Jan Pieter Zoon Coen
menduduki Jakarta, dan dilawan oleh Sultan Agung Mataram yang bergelar Sultan
Abdurrahman Khlaifatullah Sayidin Panotogomo[2].
Sejak dari zaman VOC
(Belanda Swasta) kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik
dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagia
berikut : ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh
berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan
sekolah”.
Ketika Van den Boss
menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan
bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah
pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu.
Dan di tiap daerah Kepresidenan
didirikan satu sekolah agama Kristen.
Gubernur Jenderal Van den
Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah
dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat
edarannya kepada para Bupati tersebut sebagai berikut : ”Dianggap penting untuk
secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya
kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar lebih mudah untuk
dapat menaati undang-undang dan hukum negara”[3].
Setelah ambruknya VOC
tahun 1816, pemerintah Belanda menggantikan kedudukan VOC StatusHindia Belanda tahu 1801 dengan terang-terangan
menyatakan ”bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang
sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda.” Pada
tahun 1842, Merkus,
menteri jajahan memberikan perintah agar Gubernur Jenderal berusaha dengan
segenap tenaga pembesar keuntungan bagi negerinya. Walaupun setiap gubernur
jenderal pada penobatannya berjanji dengan khidmat bahwa ia akan memajukan
kesejahteraan Hindia Belanda dengan segenap usaha, ternyata Hindia Belanda
sebagai negeri yang direbut harus terus memberi keuntungan kepada negeri
Belanda sebagai tujuan pendudukan itu.
Pada masa
VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di
Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial.
Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan
dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad
ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan
dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap
dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai
pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat
dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen
Protestan). Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar
2. Sekolah Latin
3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
4. Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
5. Sekolah Cina
6. Pendidikan Islam
Pendidikan
untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara
tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke
Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada tahun
1882 M pemerintah belanda membentuk badan khusus yang bertugugas
mengawasi kehidupan bergama dan pendidikan islam yang disebut
Priesterraden[4].
Maka pada
tahun 1901 M muncullah apa yang disebut dengan politik ETIS yakni politik balas
budi bangsa Belanda kepada Indonesia. Pencetus politik ini adalah Van Deventer,
yang kemudian politik ini dikenal juga dengan Trilogi Van Deventer. Secara umum
isi dari politik ETIS ini ada tiga macam yaitu, Education (pendidikan),
Imigrasi (perpindahan penduduk) dan Irigasi (pengairan). Yang akan dikupas
adalah mengenai education atau pendidikan.
Pada tahun
1905 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang
memberikan pengajaran (baca pengajian) harus minta izin lebih dahulu.
pada tahun
1925 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap
pendidikan agama islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiyai) boleh memberikan
pelajaran mengaji.
pada tahun
1932 M keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan
sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tak disukai oleh
pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Luar (Wilde School Ordonantie)
peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme pada
tahun 1928 M,berupa semua pemuda. Selain dari pada itu untuk lingkungan
kehidupan agama kristen diindonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat,
dan untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama disekolah umum yang
kebanyakan muridnya beragama islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang
disebut netral agama. yakni bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada
salah satu agama sehingga sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. dan
pemerintah melindungi tempat peribadatan agama ( Indiche Staat Regeling pasal
173-174)
Maka dengan
demikian dengan tempo yang tidak lama pendidikan islam akan menjadi lumpuh atau
porak poranda. akan tetapi apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah
keadaan yang sebaliknya. masyarakat islam diindonesia pada zaman itu laksana
air hujan atau air bah yang sulit dibendung.
Secara umum,
sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya
Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi
jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan
pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan
lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan
kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.
Dapat diambil
kesimpulan bahwa pendidikan islam pada zaman kolonial belanda tidak mendapat
rintangan, hal ini ditandai dengan bermunculanya lembaga-lembaga pendidikan
yang semuanya berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturie(lulusan)nya
tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin kalau kesadaran dari pihak islam
telah timbul untuk tidak bekerja pada belanda yang telah menjadi perintang
kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang masih berlaku sampai sekarang
sehingga orang-orang islam kurang berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu
penyebabnya adalah melemahnya kekuatan politik islam walaupun islam di
indonesia mencapai jumlah yang sangat banyak.
B. Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan
Kolonial Belanda
Pada masa
kolonial Belanda pendidikan Islam di sebut juga dengan bumiputera, karena yang
memasuki pendidikan islam seluruhnya orang pribumi indonesia.
Pendidikan islam pada masa penjajahan Belanda
ada tiga macam,yaitu:
1) Sistem
pendidikan peralihan Hindu Islam
2) Sistem
pendidikan surau (langgar)
3) Sistem
pendidikan pesantren
1. Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam
Sistem ini
merupakan sistem pendidikan yang masih menggabungkan antara sistem pendidikan
Hindu dengan Islam. Pada garis besarnya, pendidikan dilaksanakan dengan
menggunakan dua sistem, Yakni: (1) sistem Keraton;dan (2) sistem Pertapa.
Sistem
pendidikan keraton ini dilaksanakan dengan cara, guru mendatangi
murid-muridnya. yang menjadi murid-muridnya adalah anak-anak para bangsawan dan
kalangan keraton. Sebaliknya, sistem pertapa, para murid mendatangi guru ke
tempat pertapaanya. adapun murid-muridnya tidak lagi terbatas pada golongan
bangsawan dan kalangan keraton, tetapi juga termasuk rakyat jelata.
2. Sistem Pendidikan Surau
Surau
merupakan istilah yang banyak digunakan di asia tenggara, seperti Sumatera
Selatan, Semenanjung Malaya, Patani (Thailand). Namun yang paling banyak
dipergunakan di Minangkabau. Secara bahasa kata surau berarti “tempat” atau “tempat
penyembahan”. Menurut pengertian asalnya, surau adalah bangunan kecil yang
dibangun untuk menyambah arwah nenek moyang. Beberapa ahli mengatakan bahwa surau berasal dari India yang merupakan
tempat yang digunakan sebagai pusat pembelajaran dan pendidikan Hindu-Budha.
Seiring
dengan kedatangan Islam di Minangkabau proses pendidikan Islam dimulai oleh
Syeikh Burhanudin sebagai pembawa Islam dengan menyampaikan pengajarannya
melalui lembaga pendidikansurau. disurau ini
anak laki-laki umumnya tinggal, sehingga memudahkan Syeikh menyampaikan
pengajarannya.
Dalam lembaga
pendidikan surau tidak mengenal birokrasi formal,
sebagaimana yang dijumpai pada lembaga pendidikan modern. aturan yang ada
didalamnya sangat dipengaruhi oleh hubungan antar individu yang terlibat.
Secara kasat mata dapat dilihat dilembaga pendidikan surau tercipta kebebasan,
jika murid melanggar suatu aturan yang telah disepakati bersama, murid tidak
mendapatkan hukuman tapi sekedar nasihat. Lembaga surau lebih merupakan suatu proses belajar
untuk sosialisasi dan interaksi kultural dari hanya sekedar mendapatkan ilmu
pengetahuan saja. jadi, nampak jelas fungsi learning societi disurau sangat menonjol.
Sistem
pendikan di surau tidak mengenal jenjang atau tingkatan
kelas, murid dibedakan sesuai dengan tingkatan keilmuanya, proses belajarnya
tidak kaku sama muridnya (Urang Siak) diberikan
kebebasan untuk memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki. dalam
proses pembelajaran murid tidak memakai meja ataupun papan tulis, yang ada
hanya kitab kuning merupakan sumber utamnya dalam pembelajaran.
Metode utama dalam proses pembalajaran di surau dengan
memakai metode ceramah, membaca dan menghafal. materi pembelajaran yang
diberikan Syeikh kepada urang siak dilaksanakan sambil duduk di lantai dalam bentuk
setengah lingkaran. Syeikh membacakan materi pembelajaran, sementara murid
menyimaknya dengan mencatat beberapa catatan penting disisi kitab yang
dibahasnya atau dengan menggunakan buku khusus yang telah disiapkan oleh murid.
Sistem seperti ini terkenal dengan istilahhalaqoh.[5]
3. Sistem Pendidikan Pesantren
a. Asal usul Pesantren
Secara garis
besarnya, dijumpai dua macam pendapat yang mengutamakan tentang pandanganya
tentang asal usul pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam.
Pertama
pesantren adalah institusi pendidikan Islam, yang memang berasal dari tradisi
Islam. Mereka berkesimpulan, bahwa pesantren lahir dari pola kehidupan
tasawwuf, yang kemudian berkembang diwilayah Islam, seperti Timur Tengah dan
Afrika utara yang dikenal dengan sebutan zawiyat.
Kedua,
pesantren merupakan kelanjutan dari tradisi Hindu-Budha yang sudah mengalami
proses islamisasi. mereka melihat adanya hubungan antara perkataan pesantren
dengan kata Shastri dari bahasa sanskerta.
Pesantern
adalah lembaag pendidikan tertua di indonesia. Pesantren sudah menjadi milik
umat Islam setelah melalui proses Islamisasi dalam sejarah perkembangannya.
KH Saifuddin
Zuhri mengatakan bahwa pesantren adalah pesantren. Disana diajarkan norma-norma
yang tidak mungkin dijumpai di tempat-tempat lain. Disana bukan sekedar
dipelajari berbagai ilmu, dan bukan
pula sekedar melakukan ibadah saja, tetapi disana diajarkan nilai-nilai yang
paling mutlak harus dimiliki seseorang dalam mengarungi kehidupan.
b. Metode yang digunakan
· Metode sorogan, atau layanan individual
Yaitu bentuk
belajar mengajar dimana Kiyai hanya menghadapi seorang santri yang masih dalam
tingkatan dasar atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkatan dasar.
Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiyai,
kemudian kiyai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu santri
mengulangi bacaan sampai santri benar-benar membaca dengan baik. bagi santri
yang telah menguasai materi lama, maka ia boleh menguasai meteri baru lagi.
· Metode wetonan dan bandongan, atau layanan kolektif
Ialah metode
mengajar Dengan sistem ceramah. Kiyai membaaca kitab di hadapan kelompok santri
tingkat lanjutan dalam jumlah besar pada waktu tertentu seperti sesudah shalat
berjamaah Subuh atau Isya. di daerah Jawa Barat metode ini lebih dikenal dengan
istilah Bendongan. Dalam metode ini Kiyai biasanya membacakan, menerjemahkan,
lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab dan para santri
menyimak baacaan Kiyai sambil membuat catatan penjelasan di penggir kitabnya.
Di daerah Jawa metode ini disebut (halaqoh) yakni murid mengelilingi guru yang
membahas kitab
· Metode Musyawarah
Adalah
belajar dalam bentuk seminar (diskusi) untuk membahas setiap masalah yang
berhubungan dengan materi pembelajaran-pelajaran santri ditingkat tinggi.
metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus aktif
mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah ditentukan kiyainya. Kiyai
harus menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya. [6]
c. Kurikulum
Pesantren
Menurut Karel
A Steenbrink semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren
sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar pendidikan
dari Belanda. berdasarkan wawancaranya dengan para kiyai, dia mengkomplikasi
suatu daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai dipesantren-pesantren
Jawa dan umunya Madura. kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umumnya masih
dipakai sebagai buku pegangan dipesantren. Daftar tersebut meliputikitab-kitab
fikih, baik fikih secara umum maupun fiikih ibadah, tata bahasa arab,
ushuludin, tasawwuf dan tafsir.
Dari hasil
penelitian Van De Berg tersebut, karel A. Steenbrink menyimpulkan antara lain
kitab-kitab yang dipakai dipesantren masa itu hampir semuanya berasal dari
zaman pertengahan dunia Islam. pendekatan terhadap al-Quran dan tidak terjadi
secara langsung melainkan hanya melalui seleksi yang sudah dilakukan
kitab-kitab lain khususnya kitab fikih. Disamping itu, sekalipun yang masuk ke
jawa adalah Islam yang berbau sufi, namun kedudukan tasawuf menempati kedudukan
yang lemah sekali dalam daftar buku tersebut. kesimpulan yang lebih utama
adalah bahwa studi fikih dan tata bahasa arab merupakan profil pesantren pada
akhir abad ke-19 tersebut.
Pada umumnya pendidikan di pesantren mengutamakan pelajaran fikih. Namun
sekalipun mengutamakan pelajaran fikih mata pelajaran lainya tidak di abaikan
sama sekali. Dalm hal ini mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu alat,
pembinaan iman, dan akhlak sangat diperlukan. pengajaran bahasa arab adalah
ilmu bantu untuk pemahaman kitab-kitab agama. Pengajaran bahasa arab tersebut
terdiri dari beberapa cabang dan tingkatan sebagai dasar bagi santri untuk
melakukan pengajian kitab. dengan begitu, santri harus memiliki pengetahuan
bahasa arab terlebih dahulu sebelum pengajian kitab yang sebenarnya
dilaksanakan. Pengajian kitab yang dimaksudkan itu adalah pengajian fikih dari
tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Kitab-kitab fikih tersebut ditulis dalam
bahasa arab.[7]
C. Pengaruh Kebijakan Kolonial Belanda Terhadap
Pendidikan Islam
Selama tiga
setengah abad Belanda menjajah wilayah Nusantara, berbagai macam kebijakan dan
pendekatan telah dilakukan oleh Belanda dalam wilayah jajahannya, yang umumnya
kebijakan mereka merugikan masyarakat secara umum. Menjelang dan awal abad XX
ada beberapa kebijakan Belanda di Indonesia yang secara signifikan berpengaruh
terhadap pendidikan. Setidaknya ada dua kebijakan Belanda yaitu: (1) Politik
Etis, dan (2) Ordonansi (peraturan pemerintah) Guru/Sekolah Liar.
a) Politik Etis
Diberlakukan
tahun 1901, politik balas budi, sehingga adanya kebijakan politik Belanda
kepada Indonesia sebagai jajahannya, dengan kata lain politik ini adalah sistem
yang diberlakukan Belanda untuk membangun negara jajahannya
Cikal bakal
politik Etis berdasarkan pidato kenegaraan yang disampaikan oleh Ratu Belanda
Wilhelmina menjelang akhir tahun 1901, diantara pokok-pokok pikirannya; de nieuwe
koers de koloniale politiek (arah
baru yang akan ditempuh oleh politik penjajahan).
Secara konsep
politik Etis sangat baik karena adanya keberpihakan kepada kaum pribumi. Namun
dalam pelaksanaannya kolonial Belanda bekerjasama dengan kaum liberal (pemegang
saham), tetap mengeksplotir daerah jajahannya untuk kepentingan ekonominya.
Dalam menjalankan politik Etis Belanda menerapkan trilogy
program, yaitu meliputi : edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan) dan transmigrasi (pemindahan penduduk dari daerah padat
ke daerah perkebunan jawa). Disamping trilogi program tersebut, penjajah
Belanda menerapkan prinsip assosiasi, asimilasi, dan unifikasi.
Tetapi
betapapun kekhawatiran yang timbul, agaknya kepentingan dan pertimbangan
politik lebih mereka utamakan. karena itu pelaksanaan politik Etis secara
murni, sedikit banyaknya memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut
kelanjutan politik kolonialis mereka. diantara pertimbangan itu adalah pertama, memilih sistem pendidikan yang
dapat memenuhi tuntunan moral politik Etis, tapi juga dapat mendukung
kepentingan politik penjajahannya. kedua, berusaha
memenuhi bertanggung jawab untuk mendidik dan mencerdaskan rakyat yang
mayoritas muslim dan disamping itu juga berusaha meredam kekuatan yang mungkin
timbul dari pengaruh fanatisme keagamaan mereka.
Meskipun
sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah belum dapat mencukupi kebutuhan
pendidikan untuk masyarakat, tapi sekolah-sekolah itu ikut membawa perubahan
dalam bidang pendidikan di Indonesia. sekolah-sekolah sistem barat (Belanda)
tersebut mendorong timbulnya pemikiran baru bagi pengelola pendidikan Islam di
tanah air. Sistem pendidikan pondok pesantren mulai mendapat sorotan karena
dinilai kolot, serta sudah tidak mampu memenuhi tuntunan dan kebutuhan zaman.
Sebaliknya, para penyelenggara pondok pesantren merasa, bahwa sikap menutup
diri terhadap dunia luar, erat kaitannya dengan usaha mempertahankan kemurnian
agama dari unsur pengaruh budaya barat yang modern.
Sebaliknya,
adapula yang berpendirian, bahwa kaum muslimin harus berusaha menemukan sumber
kekuatan barat dan memilikinya. Usaha ini dilakukan dangan cara mempelajari
ilmu pengetahuan dan teknologi barat untuk memperkuat masyarakat Iislam. kedua
pendapat tersebut, menurut Edward Montimer merupakan kunci pemikiran
pemuka-pemuka Islam ketika itu. Kalangan pembaru ini selanjutnya berpendapat, bahwa
faktor yang menyebabkan keterbelakangannya umat islam terletak pada kelemahan
sistem pendidikan islam yang ada. Untuk itu mereka mengadakan pembaruan
dibidang pendidikan dengan menyelanggarakan sistem madarasah, sebagai hasil
integrasi antara sistem pendidikan barat dengan sistem pesantren.
Di Indonesia
usaha dan gerakan pembaru itu dalam bidang pendidikan dimulai pada pertengahan
abad ke-20, seperti yang dilakukan oleh kaum muda di Minangkabau, Jami’at
Khair, Muhammadiyyah, al Irsyad, Persyarikatan Ulama,Persis dan lain-lainya.
Sebagai dampak sampingan dari pembaruan itu pendidikan Islam di Indonesia
mengalami perubahan dalam berbagai aspek seperti, sistem, kelembagaan,
administrasi, penyelenggara, maupun tamatan institusi pendidikan itu sendiri.
perubahan tersebut, tampaknya memberi kesan, bahwa pembaruan pendidikan Islam
di Indonesia yang berorientasi pada modernisasi, menunjukan dirinya sebagai
bentuk respon terhadap sekolah-sekolah pemerintah Belanda yang netral agama.
b) Ordonansi Guru/Sekolah Liar
Sehubungan
dengan berdirinya madrasah dan sekolah agama yang diselenggarakan oleh kalangan
Islam pembaru, agaknya kekhawatiran pemerintah tersebut cukup beralasan. Semula
memang pemerintah membiarkan kehidupan islam pada batas-batas tertentu,
sepanjang tidak menggangu kehadiran Belanda, sambil mengembangkan sistem
persekolahan pada pengetahuan dan keterampilan duniawi, yaitu pendidikan umum;
sebagai pencerminan dari sikap pemerintah Belanda untuk tidak mencampuri lebih
jauh masalah Islam.
Tetapi
setelah melihat perkembangan lebih lanjut, seperti peningkatan jumlah madrasah
dan sekolah-sekolah swasta sebagai institusi pendidikan diluar sistem
persekolahan pemerintah, kalangan pemerintah semakin hati-hati terhadap sikap
netral mereka selama ini. Masalah Islam yang menjadi sumber kekhawatiran
pemerintah tersebut agaknya tidak terbatas adanya institiusi pendidikannya
saja. Lebih jauh dari itu, mereka memandang kemungkinan infiltrasi pengaruh
Islam tersebut di sekolah-sekolah swasta lainnya.
Adanya latar
belakang tersebut pula barangkali, yang mendorong pemerintah Belanda merubah
sikapnya dalam menghadapi kemungkinan buruk yang bakal timbul dari peningkatan
jumlah madrasah dan sekolah-sekolah agama.Sebagai tindakan pencagahan, langkah
itu dilakukan melalui pengawasan terhadap sekolah-sekolah liar. sejak adanya
perunahan sikap tersebut, dalam rangka pengawasan dikeluarkan
ordonansi tanggal 28 Maret 1923 Lembaran Negara no 136 dan 260. aslinya berupa
pembatasan kebebasan mengajar bagi guru-guru sekolah swasta.Sistem ini
tidak memberi keuntungan bagi perkembangan institusi pendidikan Islam. Bahkan
dalam ordonansi yang dikeluarkan tahun 1932, dinyatakan bahwa semua sekolah
yang tidak di bangun pemerintah atau tidak memperoleh subsidi dari pemerintah,
diharuskan minta izin terlebih dahulu, sebelum sekolah itu didirikan.
Dengan
kebijakan ini pemerintah kolonial Belanda mendapat reaksi yang luar biasa dari
kalangan umat Islam terlebih di Minangkabau. Hal ini karena umat Islam
Minangkabau melihat adanya “sesuatu” yang akan merugikan Agama Islam jika
kebijakan ini dilaksanakan.
Atas reaksi
yang sedemikian besar, akhirnya pemerintahan Belanda melalui Gubernur
Jendralnya memberi jawaban bahwa ordonansi guru di Minangkabau belum ada niat
kapan untuk dilaksanakan. Lambat laun eksistensi orodonansi guru tidak lagi ada
urgensinya, dan akhirnya kebijakan ini di batalkan dan hilang dari peredaran.
walaupun sebelum keputusan ini di buat sesungguhnya Belanda telah berusaha
membujuk rayu beberapa tokoh Islam Minangkabau untuk mendukung pelaksanaan
ordonansi ini, namum mereka tidak berhasil.[8]
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
pembahasan mengenai pendidikan islam pada zaman penjajahan kolonial
Belanda, ada beberapa karakteristik yang dapat kita ketahui, yakni;
Pada masa
penjajahan kolonial Belanda, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam
pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan
tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus
sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat
dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen
Protestan). Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan
sebagai berikut:
1. Pendidikan
Dasar
2. Sekolah
Latin
3. Seminarium
Theologicum (Sekolah Seminari)
4. Academie
der Marine (Akademi Pelayanan)
5. Sekolah
Cina
6. Pendidikan
Islam
Untuk
Pendidikan Islam sendiri, pendidikannya relatif telah mapan melalui
lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak
proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau
mengaturnya.Pada masa kolonial belanda pendidikan islam di sebut juga dengan
bumiputera, karena yang memasuki pendidikan islam seluruhnya orang pribumi
indonesia.
Pendidikan islam pada masa penjajhan belanda ada
tiga macam,yaitu:
1) Sistem
pendidikan peralihan Hindu Islam
2) Sistem
pendidikan surau (langgar)
3) Sistem
pendidikan pesantren
Pengaruh
Kebijakan Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Islam(1) Politik Etis,
diberlakukan tahun 1901, politik balas budi, sehingga adanya kebijakan
politik Belanda kepada Indonesia sebagai jajahannya, dengan kata lain politik
ini adalah sistem yang diberlakukan Belanda untuk membangu negara jajahannya.
dan (2) Ordonansi (peraturan pemerintah) Guru/Sekolah Liar. Sebuah sistem
pembatasan kebebasan mengajar bagi guru-guru sekolah swasta, dan semua sekolah yang tidak di bangun
pemerintah atau tidak memperoleh subsidi dari pemerintah, diharuskan minta izin
terlebih dahulu, sebelum sekolah itu didirikan. pengawasan ordonansi
dikeluarkan tanggal 28 Maret 1923 Lembaran Negara no 136 dan 260.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis,Sejarah Pendidikan Islam,Jakarta:
Kalam Mulia, 2011
Zuhairini, dkkSejarahPendidikan
Islam, Jakarta: BumiAksara
2011
http://nieez-azza.blogspot.com/2012/05/makalah-pendidikan-islam-pada-masa.html, di unduh
hari senin 23 september 2013 pkl. 21:00.
Comments
Post a Comment