Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Belanda

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendidikan Pada Masa Penjajahan Kolonial Belanda
Penaklukan bangsa Barat atas dunia Timur dengan jalan perdagangan, kemudian dengan kekuatan militer. Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya, bukan untuk kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula di bidang pendidikan. Mereka memperkenalkan sistem danmetode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Apa yang mereka sebut pembaharuan pendidikan itu adalah westernisasi dari Kristenisasi yakni untuk kepentingan Barat dan Nasrani. Dua motif inilah yang mewarnai kebijaksanaan penjajahan Barat di Indonesia selama ± 3,5 Abad[1].
Pemerintah Belanda mulai menjajah Indonesia pada tahun 1619 M, yaitu ketika Jan Pieter Zoon Coen menduduki Jakarta, dan dilawan oleh Sultan Agung Mataram yang bergelar Sultan Abdurrahman Khlaifatullah Sayidin Panotogomo[2].
Sejak dari zaman VOC (Belanda Swasta) kedatangan mereka di Indonesia sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu pasal yang berbunyi sebagia berikut : ”Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh berperang. Dan harus memperhatikan perbaikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah”.
Ketika Van den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, keluarlah kebijaksanaan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu. Dan di tiap daerah Kepresidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
Gubernur Jenderal Van den Capellen pada tahun 1819 M mengambil inisiatif merencanakan berdirinya sekolah dasar bagi penduduk pribumi agar dapat membantu pemerintah Belanda. Dalam surat edarannya kepada para Bupati tersebut sebagai berikut : ”Dianggap penting untuk secepat mungkin mengadakan peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi agar lebih mudah untuk dapat menaati undang-undang dan hukum negara[3].
Setelah ambruknya VOC tahun 1816, pemerintah Belanda menggantikan kedudukan VOC StatusHindia Belanda tahu 1801 dengan terang-terangan menyatakan ”bahwa tanah jajahan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya kepada perdagangan dan kepada kekayaan negeri Belanda.” Pada tahun 1842, Merkus, menteri jajahan memberikan perintah agar Gubernur Jenderal berusaha dengan segenap tenaga pembesar keuntungan bagi negerinya. Walaupun setiap gubernur jenderal pada penobatannya berjanji dengan khidmat bahwa ia akan memajukan kesejahteraan Hindia Belanda dengan segenap usaha, ternyata Hindia Belanda sebagai negeri yang direbut harus terus memberi keuntungan kepada negeri Belanda sebagai tujuan pendudukan itu.
Pada masa VOC, yang merupakan sebuah kongsi (perusahaan) dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negeri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar
2. Sekolah Latin
3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
4. Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
5. Sekolah Cina
6. Pendidikan Islam
Pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.
Pada tahun 1882 M pemerintah belanda membentuk badan khusus yang bertugugas mengawasi  kehidupan bergama dan pendidikan islam yang disebut Priesterraden[4].
Maka pada tahun 1901 M muncullah apa yang disebut dengan politik ETIS yakni politik balas budi bangsa Belanda kepada Indonesia. Pencetus politik ini adalah Van Deventer, yang kemudian politik ini dikenal juga dengan Trilogi Van Deventer. Secara umum isi dari politik ETIS ini ada tiga macam yaitu, Education (pendidikan), Imigrasi (perpindahan penduduk) dan Irigasi (pengairan). Yang akan dikupas adalah mengenai education atau pendidikan.
Pada tahun 1905 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran (baca pengajian) harus minta izin lebih dahulu.
pada tahun 1925 M pemerintah mengeluarkan peraturan yang lebih ketat lagi terhadap pendidikan agama islam yaitu bahwa tidak semua orang (kiyai) boleh memberikan pelajaran mengaji.
pada tahun 1932 M keluar pula peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah yang disebut Ordonansi Sekolah Luar (Wilde School Ordonantie) peraturan ini dikeluarkan setelah munculnya gerakan nasionalisme-islamisme pada tahun 1928 M,berupa semua pemuda. Selain dari pada itu untuk lingkungan kehidupan agama kristen diindonesia yang selalu menghadapi reaksi dari rakyat, dan untuk menjaga dan menghalangi masuknya pelajaran agama disekolah umum yang kebanyakan muridnya beragama islam, maka pemerintah mengeluarkan peraturan yang disebut netral agama. yakni bahwa pemerintah bersikap tidak memihak kepada salah satu agama sehingga sekolah pemerintah tidak mengajarkan agama. dan pemerintah melindungi tempat peribadatan agama ( Indiche Staat Regeling pasal 173-174)
Maka dengan demikian dengan tempo yang tidak lama pendidikan islam akan menjadi lumpuh atau porak poranda. akan tetapi apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. masyarakat islam diindonesia pada zaman itu laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung.
Secara umum, sistem pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sejak diterapkannya Politik Etis dapat digambarkan sebagai berikut: (1) Pendidikan dasar meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda (ELS, HCS, HIS), sekolah dengan pengantar bahasa daerah (IS, VS, VgS), dan sekolah peralihan. (2) Pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum (MULO, HBS, AMS) dan pendidikan kejuruan. (3) Pendidikan tinggi.
Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan islam pada zaman kolonial belanda tidak mendapat rintangan, hal ini ditandai dengan bermunculanya lembaga-lembaga pendidikan yang semuanya berjalan dengan lancar walaupun terlihat abiturie(lulusan)nya tidak bisa diterima oleh mereka dan yakin kalau kesadaran dari pihak islam telah timbul untuk tidak bekerja pada belanda yang telah menjadi perintang kemajuan bangsa. Kenyataan seperti ini sayang masih berlaku sampai sekarang sehingga orang-orang islam kurang berperan dalam pemerintahan. Hal ini tentu penyebabnya adalah melemahnya kekuatan politik islam walaupun islam di indonesia mencapai jumlah yang sangat banyak.

B.     Sistem Pendidikan Islam Pada Masa Penjajahan Kolonial Belanda
Pada masa kolonial Belanda pendidikan Islam di sebut juga dengan bumiputera, karena yang memasuki pendidikan islam seluruhnya orang pribumi indonesia.
Pendidikan islam pada masa penjajahan Belanda ada tiga macam,yaitu:
1)      Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam
2)      Sistem pendidikan surau (langgar)
3)      Sistem pendidikan pesantren
1.      Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam
Sistem ini merupakan sistem pendidikan yang masih menggabungkan antara sistem pendidikan Hindu dengan Islam. Pada garis besarnya, pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan dua sistem, Yakni: (1) sistem Keraton;dan (2) sistem Pertapa.
Sistem pendidikan keraton ini dilaksanakan dengan cara, guru mendatangi murid-muridnya. yang menjadi murid-muridnya adalah anak-anak para bangsawan dan kalangan keraton. Sebaliknya, sistem pertapa, para murid mendatangi guru ke tempat pertapaanya. adapun murid-muridnya tidak lagi terbatas pada golongan bangsawan dan kalangan keraton, tetapi juga termasuk rakyat jelata.
2.      Sistem Pendidikan Surau
Surau merupakan istilah yang banyak digunakan di asia tenggara, seperti Sumatera Selatan, Semenanjung Malaya, Patani (Thailand). Namun yang paling banyak dipergunakan di Minangkabau. Secara bahasa kata surau berarti “tempat” atau “tempat penyembahan”. Menurut pengertian asalnya, surau adalah bangunan kecil yang dibangun untuk menyambah arwah nenek moyang. Beberapa ahli mengatakan bahwa surau berasal dari India yang merupakan tempat yang digunakan sebagai pusat pembelajaran dan pendidikan Hindu-Budha.
Seiring dengan kedatangan Islam di Minangkabau proses pendidikan Islam dimulai oleh Syeikh Burhanudin sebagai pembawa Islam dengan menyampaikan pengajarannya melalui lembaga pendidikansurau. disurau ini anak laki-laki umumnya tinggal, sehingga memudahkan Syeikh menyampaikan pengajarannya.
Dalam lembaga pendidikan surau tidak mengenal birokrasi formal, sebagaimana yang dijumpai pada lembaga pendidikan modern. aturan yang ada didalamnya sangat dipengaruhi oleh hubungan antar individu yang terlibat. Secara kasat mata dapat dilihat dilembaga pendidikan surau tercipta kebebasan, jika murid melanggar suatu aturan yang telah disepakati bersama, murid tidak mendapatkan hukuman tapi sekedar nasihat. Lembaga surau lebih merupakan suatu proses belajar untuk sosialisasi dan interaksi kultural dari hanya sekedar mendapatkan ilmu pengetahuan saja. jadi, nampak jelas fungsi learning societi disurau sangat menonjol.
Sistem pendikan di surau tidak mengenal jenjang atau tingkatan kelas, murid dibedakan sesuai dengan tingkatan keilmuanya, proses belajarnya tidak kaku sama muridnya (Urang Siak) diberikan kebebasan untuk memilih belajar pada kelompok mana yang ia kehendaki. dalam proses pembelajaran murid tidak memakai meja ataupun papan tulis, yang ada hanya kitab  kuning merupakan sumber utamnya dalam pembelajaran.
            Metode utama dalam proses pembalajaran di surau dengan memakai metode ceramah, membaca dan menghafal. materi pembelajaran yang diberikan Syeikh kepada urang siak dilaksanakan sambil duduk di lantai dalam bentuk setengah lingkaran. Syeikh membacakan materi pembelajaran, sementara murid menyimaknya dengan mencatat beberapa catatan penting disisi kitab yang dibahasnya atau dengan menggunakan buku khusus yang telah disiapkan oleh murid. Sistem seperti ini terkenal dengan istilahhalaqoh.[5]
3.      Sistem Pendidikan Pesantren
a.    Asal usul Pesantren
Secara garis besarnya, dijumpai dua macam pendapat yang mengutamakan tentang pandanganya tentang asal usul pesantren, sebagai institusi pendidikan Islam.
Pertama pesantren adalah institusi pendidikan Islam, yang memang berasal dari tradisi Islam. Mereka berkesimpulan, bahwa pesantren lahir dari pola kehidupan tasawwuf, yang kemudian berkembang diwilayah Islam, seperti Timur Tengah dan Afrika utara yang dikenal dengan sebutan zawiyat.
Kedua, pesantren merupakan kelanjutan dari tradisi Hindu-Budha yang sudah mengalami proses islamisasi. mereka melihat adanya hubungan antara perkataan pesantren dengan kata Shastri dari bahasa sanskerta.  
Pesantern adalah lembaag pendidikan tertua di indonesia. Pesantren sudah menjadi milik umat Islam setelah melalui proses Islamisasi dalam sejarah perkembangannya.
KH Saifuddin Zuhri mengatakan bahwa pesantren adalah pesantren. Disana diajarkan norma-norma yang tidak mungkin dijumpai di tempat-tempat lain. Disana bukan sekedar dipelajari berbagai ilmu, dan         bukan pula sekedar melakukan ibadah saja, tetapi disana diajarkan nilai-nilai yang paling mutlak harus dimiliki seseorang dalam mengarungi kehidupan.
b. Metode yang digunakan
·    Metode sorogan, atau layanan individual
Yaitu bentuk belajar mengajar dimana Kiyai hanya menghadapi seorang santri yang masih dalam tingkatan dasar atau sekelompok kecil santri yang masih dalam tingkatan dasar. Tata caranya adalah seorang santri menyodorkan sebuah kitab di hadapan kiyai, kemudian kiyai membacakan beberapa bagian dari kitab itu, lalu santri mengulangi bacaan sampai santri benar-benar membaca dengan baik. bagi santri yang telah menguasai materi lama, maka ia boleh menguasai meteri baru lagi.
·    Metode wetonan dan bandongan, atau layanan kolektif
Ialah metode mengajar Dengan sistem ceramah. Kiyai membaaca kitab di hadapan kelompok santri tingkat lanjutan dalam jumlah besar pada waktu tertentu seperti sesudah shalat berjamaah Subuh atau Isya. di daerah Jawa Barat metode ini lebih dikenal dengan istilah Bendongan. Dalam metode ini Kiyai biasanya membacakan, menerjemahkan, lalu menjelaskan kalimat-kalimat yang sulit dari suatu kitab dan para santri menyimak baacaan Kiyai sambil membuat catatan penjelasan di penggir kitabnya. Di daerah Jawa metode ini disebut (halaqoh) yakni murid mengelilingi guru yang membahas kitab
·  Metode Musyawarah
Adalah belajar dalam bentuk seminar (diskusi) untuk membahas setiap masalah yang berhubungan dengan materi pembelajaran-pelajaran santri ditingkat tinggi. metode ini menekankan keaktifan pada pihak santri, yaitu santri harus aktif mempelajari dan mengkaji sendiri buku yang telah ditentukan kiyainya. Kiyai harus menyerahkan dan memberi bimbingan seperlunya. [6]
c.     Kurikulum Pesantren
Menurut Karel A Steenbrink semenjak akhir abad ke-19 pengamatan terhadap kurikulum pesantren sudah dilakukan misalnya oleh LWC Van Den Berg (1886) seorang pakar pendidikan dari Belanda. berdasarkan wawancaranya dengan para kiyai, dia mengkomplikasi suatu daftar kitab-kitab kuning yang masa itu dipakai dipesantren-pesantren Jawa dan umunya Madura. kitab-kitab tersebut sampai sekarang pada umumnya masih dipakai sebagai buku pegangan dipesantren. Daftar tersebut meliputikitab-kitab fikih, baik fikih secara umum maupun fiikih ibadah, tata bahasa arab, ushuludin, tasawwuf dan tafsir.
Dari hasil penelitian Van De Berg tersebut, karel A. Steenbrink menyimpulkan antara lain kitab-kitab yang dipakai dipesantren masa itu hampir semuanya berasal dari zaman pertengahan dunia Islam. pendekatan terhadap al-Quran dan tidak terjadi secara langsung melainkan hanya melalui seleksi yang sudah dilakukan kitab-kitab lain khususnya kitab fikih. Disamping itu, sekalipun yang masuk ke jawa adalah Islam yang berbau sufi, namun kedudukan tasawuf menempati kedudukan yang lemah sekali dalam daftar buku tersebut. kesimpulan yang lebih utama adalah bahwa studi fikih dan tata bahasa arab merupakan profil pesantren pada akhir abad ke-19 tersebut.
            Pada umumnya pendidikan di pesantren mengutamakan pelajaran fikih. Namun sekalipun mengutamakan pelajaran fikih mata pelajaran lainya tidak di abaikan sama sekali. Dalm hal ini mata pelajaran yang berhubungan dengan ilmu alat, pembinaan iman, dan akhlak sangat diperlukan. pengajaran bahasa arab adalah ilmu bantu untuk pemahaman kitab-kitab agama. Pengajaran bahasa arab tersebut terdiri dari beberapa cabang dan tingkatan sebagai dasar bagi santri untuk melakukan pengajian kitab. dengan begitu, santri harus memiliki pengetahuan bahasa arab terlebih dahulu sebelum pengajian kitab yang sebenarnya dilaksanakan. Pengajian kitab yang dimaksudkan itu adalah pengajian fikih dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi. Kitab-kitab fikih tersebut ditulis dalam bahasa arab.[7]

C.    Pengaruh Kebijakan Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Islam
Selama tiga setengah abad Belanda menjajah wilayah Nusantara, berbagai macam kebijakan dan pendekatan telah dilakukan oleh Belanda dalam wilayah jajahannya, yang umumnya kebijakan mereka merugikan masyarakat secara umum. Menjelang dan awal abad XX ada beberapa kebijakan Belanda di Indonesia yang secara signifikan berpengaruh terhadap pendidikan. Setidaknya ada dua kebijakan Belanda yaitu: (1) Politik Etis, dan (2) Ordonansi (peraturan pemerintah) Guru/Sekolah Liar.
a)    Politik Etis
Diberlakukan  tahun 1901, politik balas budi, sehingga adanya kebijakan politik Belanda kepada Indonesia sebagai jajahannya, dengan kata lain politik ini adalah sistem yang diberlakukan Belanda untuk membangun negara jajahannya
Cikal bakal politik Etis berdasarkan pidato kenegaraan yang disampaikan oleh Ratu Belanda Wilhelmina menjelang akhir tahun 1901, diantara pokok-pokok pikirannya; de nieuwe koers de koloniale politiek (arah baru yang akan ditempuh oleh politik penjajahan).
Secara konsep politik Etis sangat baik karena adanya keberpihakan kepada kaum pribumi. Namun dalam pelaksanaannya kolonial Belanda bekerjasama dengan kaum liberal (pemegang saham), tetap mengeksplotir daerah jajahannya untuk kepentingan ekonominya. Dalam menjalankan politik Etis Belanda menerapkan trilogy program, yaitu meliputi : edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan) dan transmigrasi (pemindahan penduduk dari daerah padat ke daerah perkebunan jawa). Disamping trilogi program tersebut, penjajah Belanda menerapkan prinsip assosiasi, asimilasi, dan unifikasi.
Tetapi betapapun kekhawatiran yang timbul, agaknya kepentingan dan pertimbangan politik lebih mereka utamakan. karena itu pelaksanaan politik Etis secara murni, sedikit banyaknya memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang menyangkut kelanjutan politik kolonialis mereka. diantara pertimbangan itu adalah pertama, memilih sistem pendidikan yang dapat memenuhi tuntunan moral politik Etis, tapi juga dapat mendukung kepentingan politik penjajahannya. kedua, berusaha memenuhi bertanggung jawab untuk mendidik dan mencerdaskan rakyat yang mayoritas muslim dan disamping itu juga berusaha meredam kekuatan yang mungkin timbul dari pengaruh fanatisme keagamaan mereka.
Meskipun sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah belum dapat mencukupi kebutuhan pendidikan untuk masyarakat, tapi sekolah-sekolah itu ikut membawa perubahan dalam bidang pendidikan di Indonesia. sekolah-sekolah sistem barat (Belanda) tersebut mendorong timbulnya pemikiran baru bagi pengelola pendidikan Islam di tanah air. Sistem pendidikan pondok pesantren mulai mendapat sorotan karena dinilai kolot, serta sudah tidak mampu memenuhi tuntunan dan kebutuhan zaman. Sebaliknya, para penyelenggara pondok pesantren merasa, bahwa sikap menutup diri terhadap dunia luar, erat kaitannya dengan usaha mempertahankan kemurnian agama dari unsur pengaruh budaya barat yang modern.
Sebaliknya, adapula yang berpendirian, bahwa kaum muslimin harus berusaha menemukan sumber kekuatan barat dan memilikinya. Usaha ini dilakukan dangan cara mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi barat untuk memperkuat masyarakat Iislam. kedua pendapat tersebut, menurut Edward Montimer merupakan kunci pemikiran pemuka-pemuka Islam ketika itu. Kalangan pembaru ini selanjutnya berpendapat, bahwa faktor yang menyebabkan keterbelakangannya umat islam terletak pada kelemahan sistem pendidikan islam yang ada. Untuk itu mereka mengadakan pembaruan dibidang pendidikan dengan menyelanggarakan sistem madarasah, sebagai hasil integrasi antara sistem pendidikan barat dengan sistem pesantren.
Di Indonesia usaha dan gerakan pembaru itu dalam bidang pendidikan dimulai pada pertengahan abad ke-20, seperti yang dilakukan oleh kaum muda di Minangkabau, Jami’at Khair, Muhammadiyyah, al Irsyad, Persyarikatan Ulama,Persis dan lain-lainya. Sebagai dampak sampingan dari pembaruan itu pendidikan Islam di Indonesia mengalami perubahan dalam berbagai aspek seperti, sistem, kelembagaan, administrasi, penyelenggara, maupun tamatan institusi pendidikan itu sendiri. perubahan tersebut, tampaknya memberi kesan, bahwa pembaruan pendidikan Islam di Indonesia yang berorientasi pada modernisasi, menunjukan dirinya sebagai bentuk respon terhadap sekolah-sekolah pemerintah Belanda yang netral agama.
b)   Ordonansi Guru/Sekolah Liar
Sehubungan dengan berdirinya madrasah dan sekolah agama yang diselenggarakan oleh kalangan Islam pembaru, agaknya kekhawatiran pemerintah tersebut cukup beralasan. Semula memang pemerintah membiarkan kehidupan islam pada batas-batas tertentu, sepanjang tidak menggangu kehadiran Belanda, sambil mengembangkan sistem persekolahan pada pengetahuan dan keterampilan duniawi, yaitu pendidikan umum; sebagai pencerminan dari sikap pemerintah Belanda untuk tidak mencampuri lebih jauh masalah Islam.
Tetapi setelah melihat perkembangan lebih lanjut, seperti peningkatan jumlah madrasah dan sekolah-sekolah swasta sebagai institusi pendidikan diluar sistem persekolahan pemerintah, kalangan pemerintah semakin hati-hati terhadap sikap netral mereka selama ini. Masalah Islam yang menjadi sumber kekhawatiran pemerintah tersebut agaknya tidak terbatas adanya institiusi pendidikannya saja. Lebih jauh dari itu, mereka memandang kemungkinan infiltrasi pengaruh Islam tersebut di sekolah-sekolah swasta lainnya.
Adanya latar belakang tersebut pula barangkali, yang mendorong pemerintah Belanda merubah sikapnya dalam menghadapi kemungkinan buruk yang bakal timbul dari peningkatan jumlah madrasah dan sekolah-sekolah agama.Sebagai tindakan pencagahan, langkah itu dilakukan melalui pengawasan terhadap sekolah-sekolah liar. sejak adanya perunahan  sikap   tersebut, dalam rangka pengawasan dikeluarkan ordonansi tanggal 28 Maret 1923 Lembaran Negara no 136 dan 260. aslinya berupa pembatasan kebebasan mengajar bagi guru-guru sekolah swasta.Sistem ini tidak memberi keuntungan bagi perkembangan institusi pendidikan Islam. Bahkan dalam ordonansi yang dikeluarkan tahun 1932, dinyatakan bahwa semua sekolah yang tidak di bangun pemerintah atau tidak memperoleh subsidi dari pemerintah, diharuskan minta izin terlebih dahulu, sebelum sekolah itu didirikan.
Dengan kebijakan ini pemerintah kolonial Belanda mendapat reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam terlebih di Minangkabau. Hal ini karena umat Islam Minangkabau melihat adanya “sesuatu” yang akan merugikan Agama Islam jika kebijakan ini dilaksanakan.
Atas reaksi yang sedemikian besar, akhirnya pemerintahan Belanda melalui Gubernur Jendralnya memberi jawaban bahwa ordonansi guru di Minangkabau belum ada niat kapan untuk dilaksanakan. Lambat laun eksistensi orodonansi guru tidak lagi ada urgensinya, dan akhirnya kebijakan ini di batalkan dan hilang dari peredaran. walaupun sebelum keputusan ini di buat sesungguhnya Belanda telah berusaha membujuk rayu beberapa tokoh Islam Minangkabau untuk mendukung pelaksanaan ordonansi ini, namum mereka tidak berhasil.[8]











BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai pendidikan  islam pada  zaman penjajahan kolonial Belanda, ada beberapa karakteristik yang dapat kita ketahui, yakni;
Pada masa penjajahan kolonial Belanda, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Jadi, sekalipun penyelenggaraan pendidikan tetap dilakukan oleh kalangan agama (gereja), tetapi mereka adalah berstatus sebagai pegawai VOC yang memperoleh tanda kepangkatan dan gaji. Dari sini dapat dipahami, bahwa pendidikan yang ada ketika itu bercorak keagamaan (Kristen Protestan). Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Pendidikan Dasar
2. Sekolah Latin
3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari)
4. Academie der Marine (Akademi Pelayanan)
5. Sekolah Cina
6. Pendidikan Islam
Untuk Pendidikan  Islam  sendiri, pendidikannya relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya.Pada masa kolonial belanda pendidikan islam di sebut juga dengan bumiputera, karena yang memasuki pendidikan islam seluruhnya orang pribumi indonesia.
Pendidikan islam pada masa penjajhan belanda ada tiga macam,yaitu:
1)      Sistem pendidikan peralihan Hindu Islam
2)      Sistem pendidikan surau (langgar)
3)      Sistem pendidikan pesantren
Pengaruh Kebijakan Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Islam(1) Politik Etis, diberlakukan  tahun 1901, politik balas budi, sehingga adanya kebijakan politik Belanda kepada Indonesia sebagai jajahannya, dengan kata lain politik ini adalah sistem yang diberlakukan Belanda untuk membangu negara jajahannya. dan (2) Ordonansi (peraturan pemerintah) Guru/Sekolah Liar. Sebuah sistem pembatasan kebebasan mengajar bagi guru-guru sekolah swasta, dan semua sekolah yang tidak di bangun pemerintah atau tidak memperoleh subsidi dari pemerintah, diharuskan minta izin terlebih dahulu, sebelum sekolah itu didirikan. pengawasan ordonansi dikeluarkan tanggal 28 Maret 1923 Lembaran Negara no 136 dan 260.

 DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis,Sejarah Pendidikan Islam,Jakarta: Kalam Mulia, 2011
Zuhairini, dkkSejarahPendidikan Islam, Jakarta: BumiAksara 2011
http://nieez-azza.blogspot.com/2012/05/makalah-pendidikan-islam-pada-masa.html, di unduh hari senin 23 september 2013 pkl. 21:00.


[1]Zuhairini, dkkSejarahPendidikan Islam, Jakarta ;BumiAksara 2011 Hal.146
[2]Ibid Hal. 147
[3]Ibid Hal.148
[4]Ibid Hal.149
[5]Ramayulis Sejarah Pendidikan Islam Jakarta, Kalam Mulia,2011 Hal 253-256
[6]Ibid Hal 268
[7]Ibid Hal 272-273
[8]Ibid


Comments