BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sebagaimana yang kita tahu bahwa Al-Qur’an sebagai sumber
utama yang memberikan petunjuk bagi manusia. Sebagai petunjuk bagi manusia,
tentu secara logis ditujukan langsung kepada manusia. Perhatian besar al-Qur’an
terhadap manusia terbukti dalam konteks keadilan bahwa al-Qur’an memberikan
prinsip-prinsip yang menekankan kejujuran, kesamaan dan kesederhanaan dimana
hal itu tidak dimiliki agama lain. Perhatian besar terhadap al-Qur’an itu juga
ditandai bahwa al-Qur’an menerangkan lebih banyak prinsip kemanusiaan dan hanya
setengah saja yang berkaitan dengan wujud Tuhan.
Seperti dalam hal penciptaan manusia, al-Qur’an menjelaskan
penciptaan manusia yang memang tak ada satupun manusia yang mengetahui asal
dirinya sendiri. Al-Qur’an berbicara mengenai Tahap penciptaan manusia ada dua:
Tahap ghaib (tak terlihat), yang terjadi pada zaman primordial atau azali, dan
hanya diketahui melalui pengetahuan wahyu. Pada tahap ini, berulang kali
disbeutkan bahwa manusia diciptakan dari tiada, dari substansi organik yang
rendah dengan sebutan tanah liat (tin), debu dan lumpur (turab)
dan dari tanah liat gelap, yang dibentuk oleh Tuhan melalui tangan-Nya sendiri.
Dan setelah berbentuk sempurna, Tuhan meniupkan kepadanya ruh-Nya, sebagaimana
dalam Qs. Shaad ayat72. Ruh Ketuhanan inilah, dijadikan dalam “bentuk yang
paling sempurna” kedalam organisme manusia yang telah siap. Dalam arti, Tuhan
memindahkan unsur-Nya kedalam susunan fisik bentuk manusia yang lebih sederhana
dan menjadikan manusia makhluk yang paling mulia dari makhluk-makhluk Tuhan
lainnya. Ini, barangkali, satu alasan mengapa Tuhan memerintahkan malaikat agar
bersujud kepada manusia pertama, Adam. Tahap proses biologis alami, yang
manusia sendiri dapat mengatahuinya melalui pengalaman atau pengetahuan ilmiah.
Sperma disimpan dalam rahim yang kokoh, kemudian diubah menjadi segumpal darah
yang kemudian dibungkus dengan tulang dan daging.
BAB
II
PEMBAHASAN
Terdapat banyak sekali al-Qur’an
yang menerangkan tentang manusia seperti mengenai proses penciptaan manusia dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan manusia. Sebutan-sebutan manusia dalam
al-Qur’an pun terdapat bermacam-macam yang tentunya terdapat maksud yang
menjelaskan konsep manusia itu sendiri. Sebutan-sebutan tersebut diantaranya: Basyar, Insan,
an Naas, Nafs, Fu’ad, Aql,Qalb, Ruh, Bani
Adam, dan Abd Allah Swt.
A.
Al-Basyr (البشر)
Kata basyar berakar
dengan huruf-huruf ba’ (باء), syin (شين), dan ra’ (راء), yang
bermakna pokok ‘tampaknya sesuatu dengan baik dan indah’. Kata kerja basyara (بشر) yang
berarti ‘bergembira’, ‘menggembirakan’, dan ‘menguliti’ (misalnya buah); dapat
pula berarti ‘memerhatikan’ dan ‘mengurus sesuatu’. Al-Qur’an menggunakan
kata basyar sebanyak 37 kali, yakni 36 kali didalam bentuk mufrod
dan sekali didalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari
sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Pengertian ini
ditemukan didalam QS. Al-Kahfi [18]: 110, tepatnya ketika Nabi Muhammad saw.
diperintahkan untuk menyampaikan, ‘اِنَّمَا أَنَاْ
بَشَرٌ مِثًلُكُمْ يُوْحَى إِلىَّ’
(Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia [basyar] seperti kamu, yang diberi
wahyu kepadaku).
Dalam QS. Ali-Imran [3]: 47 ,: ‘قَالَتْ
رَبِّ اِنَّى يَكُوْنُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِيْ بَشَرٌ (Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai
anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang manusia laki-laki [basyar]’).
Dalam ayat ini, Maryam mengungkapkan keheranannya betapa mungkin ia dapat
memperoleh anak padahal ia belum pernah ‘disentuh’ oleh basyar,
yakni dewasa yang mampu melakukan hubungan seksual. Disamping itu, ditemukan
pula kata basyiruhunna (بَشِيْرُوهُنَّ), yang juga berakar dari kata basyara (بشر) dengan
arti ‘hubungan seksual’. Kata basyiruhunna disebutkan dua kali didalam
satu ayat, yakni al-Baqarah [2]: 187.[1]
Dalam konsep basyar, manusia adalah makhluk biologis.
Sebagai makhluk biologis berarti manusia terdiri atas unsur materi, sehingga
menampilkan manusia dalam bentuk fisik material (Hasan Langgulung dalam
Jalaluddin, 2002: 19). Dalam konsep al-Basyr, manusia merupakan makhluk
jasmaniah yang secara umum terikat kepada kaidah-kaidah umum dari kehidupan
makhluk biologis seperti berkembang biak, mengalami pertumbuhan dan
perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan dan kedewasaan (dorongan
mengembangkan diri), memerlukan makanan dan minuman untuk hidup, memerlukan
pasangan hidup untuk melanjutkan keturunannya (dorongan seksual), dorongan
mempertahankan diri, sebagai dorongan primer makhluk biologis.[2]
Adapun penjelasan al-Qur’an tentang proses dan fase
perkembangan manusia sebagai makhluk biologis adalah:[3]
1. Prenatal (sebelum lahir), proses
penciptaan manusia berawal dari pembuahan (pertemuan sel dengan sperma) didalam
rahim, pembentukan fisik janin (QS. Al-Mu’minun: 12-14).
2. Post natal (sesudah lahir) proses
perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut (QS. Al-Ghafir: 67)
Selain itu, sebagai makhluk biologis, manusia pun mengalami
proses akhirnya secara fisik, yaitu mati. Segala pemenuhan kebutuhan manusia
telah diatur oleh Penciptanya karena manusia juga sebagai makhluk ciptaan. Sang
Pencipta memberikan tata cara dan ketentuan agar manusia dapat menjalankan
peran dalam hidupnya secara benar, sesuai dengan hakikat penciptaannya. Oleh
karena itu, diharapkan manusia akan selalu berada dalam kondisi kehiudupan yang
selamat.
Al-Qur’an mengatur peran manusia selaku makhluk biologis
ciptaan Allah Swt. Dengan adanya hukum tata aturan didalamnya, pertumbuhan dan
perkembangan, serta dorongan biologisnya akan berjalan secara harmonis dan terarah.
Mengenai kebutuhan makan dan minum, dibuat tata aturan agar manusia dapat
memenuhi kriteria halal (absah) dan baik (bergizi) agar sesuai dengan
kebutuhannya (QS. An-an-Nahl:65-69), mengenai air (QS. An-Nahl:65), susu (QS.
An-Nahl:66), buah-buahan (QS.an-Nahl:67) dan air madu (QS. An-Nahl:69).
Sedangkan untuk menyalurkan dorongan seksual, dibuat aturan pernikahan (QS.
Ar-Ruum:21). Demikian pula untuk menjaga keturunan, diatur tanggung jawab orang
tua terhadap anak dan usaha untuk memeliharanya agar terhindar dari azab neraka
(QS. At-Tahrim:6). Sebaliknya diatur pula tata krama anak terhadap orang tua
(QS. Al-Isra’: 23-25).[4]
B.
Al-Insan (الإِنْسَا نُ)
Al-Insan terbentuk dari kata nasiya yang
berarti lupa (M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin, 2003: 21). Al-Insan terulang
65 kali dalam al-Qur’an. Kata al-insan mengacu kepada potensi yang
dianugerahkan Allah Swt kepada manusia berupa potensi untuk bertumbuh dan
berkembang secara fisik (QS.al-Mu’minun: 12-14) dan juga potensi untuk
bertumbuh dan berkembang secara mental spiritual. Perkembangan tersebut antara
lain, meliputi kemampuan untuk berbicara (QS.ar-Rahman:4), menguasai ilmu
pengetahuan melalui proses tertentu dengan mengajarkan manusia dengan kalam
(baca tulis) dan segala apa yang tidak diketahuinya (QS. Al-‘Alaq: 4-5),
kemampuan untuk mengenal Tuhan atas dasar perjanjian awal dialam ruh, dalam
bentuk kesaksian (QS. Al-A’rof:172). Dari potensi manusia ini (yang positif)
memberi peluang manusia untuk mengembangkan kualitas sumber daya insaninya.
Selain memiliki potensi yang
positif, manusia juga memiliki potensi yang mendorongnya kearah tindakan, sikap
serta perilaku negatif dan merugikan. Potensi tersebut yakni bentuk
kecenderungan manusia untuk berlaku zalim dan mengingari nikmat (QS.
Ibrahim:34), tidak berterima kasih dan putus asa (QS. Huud: 9), sombong bila
telah berkecukupan, hingga mereka sanggup mengatakan: “Sesungguhnya Allah Swt
miskin dan kami kaya” (QS. Al-Imran :181). Perilaku manusia seperti ini
cenderung menjadikan manusia lupa diri dan melupakan harkat serta martabat
dirinya sebagai makhluk ciptaan. Menurut M. Quraish Shihab, setidaknya ada tiga
kecenderungan fitrah manusia yaitu: benar, baik dan indah. Mencari yang indah,
melahirkan seni; mencari yang baik, menimbulkan etika dan mencari yang benar
menghasilkan ilmu. (Quraish Shihab dalam Jalaluddin, 2002: 23).
Oleh karena itu, konsep al-Insan mengacu
kepada bagaimana manusia dapat memerankan dirinya sebagai sosok pribadi yang
mampu untuk mengembangkan dirinya, agar menjadi sosok llmuan yang seniman,
serta berakhlak mulia secara utuh. Konsep al-Insan diarahkan
pada upaya mendorong manusia untuk berekreasi dan berinovasi. Dengan demikian,
manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa pemikiran (ilmu
pengetahuan), kesenian ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemampuan
berinovasi, manusia mampu merekayasa temuan-temuan baru dalam berbagai bidang.[5]
C.
An-Naas (النَّاسُ)
Dalam al-Qur’an kata Al-Nas umumnya
dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial. Dalam QS. Al-Hujurat:
13, manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari
pasangan laki-laki dan wanita, kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa,
untuk saling kenal-mengenal. Sebagai makhluk sosial, manusia secara fitrah
senang hidup berkelompok, sejak dari bentuk satuan yang terkecil (keluarga)
hingga kepalig besar dan kompleks, yaitu bangsa dan umat manusia.
Sebagai makhluk ciptaan Allah Swt bagaimanapun manusia
dituntut untuk beriman kepada Penciptanya (اَمَنُوْا). Kemudian dalam kehidupan sosial mereka
dituntut untuk berbuat kebaikan (عمِلُوْا
الصَّالِحَاتِ). Adapun
terdapat tiga kerangka pokok peran manusia yang digariskan Penciptanya (lihat QS.al-Imran:110);
1) mengajak masyarakat berbuat baik (setelah dirinya terlebih dahulu melakukan
kebaikan, 2) mencegah masyarakat berbuat kemungkaran (sebelum perbuatan mungkar
terjadi), dan 3) atas dasar iman kepada Allah Swt. Jika ketiganya dapat dilakukan
manusia secara konsisten dan berkesinambungan serta dapat dijadikan tradisi
dalam kehidupan sosial, maka kelompok masyarakat tersebut sebagaimana yang
dijanjikan Allah Swt, akan berpeluang mencapai peringkat terbaik, yaitu
predikat khair ummat (خَيْرَ اُمَّةٍ). Preringkat ini telah dicapai oleh Nabi
dan para sahabat pada periode awal perkembangan masyarakat Islam, khususnya
diperiode Madinah dalam suatu Baldat Thayyibat wa Rabb Ghafur (negara
yang aman tentram dibawah naungan pengampunan Tuhan.[6]
D.
Ruh
Kata ruh atau roh
dalam al-qur’an yang memiliki predikat kudus atau suci, roh adalah malaikat
yakni malaikat Jibril. Selain itu ruh juga berarti sesuatu yang menyebabkan
manusia itu hidup, dalam hal iniruh ditiupkan pertama kali oleh Allah
Swt dalam bentukan yang disebut dengan badan. Dalam hal ini kataruh memiliki
dua pendapat yakni kata ruh yang pertama berarti ia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan, sedangkan yang kedua ruh ini sebagai ruh Allah Swt
sendiri. Ruh juga bisa dipandang sebagai wahyu misalnya mengenai Nabi Isa a.s .[7]
E.
Nafs
Secara umum kata nafs jika
dikaitkan dengan pembahasan manusia, ia lebih menunjukan kepada sisi dalam
manusia yang berpotensi baik dan buruk. Terdapat beberapa perbedaan pandangan
mengenai nafs menurut Al-Qur’an dan terminologi Sufi.Menurut
Al-Qusyairi di dalam risalahnya menyatakan bahwa nafs dalam
pengertian kaum Sufi adalah sesuatu yang melahirkann sifat tercela dan prilaku
buruk. Selain hal ini mengenai nafs diperoleh isyarat lain
bahwasannya nafs merupakan wadah, firman Allah Swt Qs. A-Rad:
11 yang mengatakan bahwa (Allah Swt tiddak mengubah nasib suatu kaum sampai
mereka mengubah apa yang terdapat di dalam diri mereka). Maksudnya yaitu apa
yang ada di dalam nafs di dalm konteks ayat ini, adalah ide dan
kemauan yang sangat keras.
F. Fu’ad
Kata fu’ad berasal
dari kata fa’aa yang berarti mengenai atau menimpa karena
panas yang membakar. Sering kali kata fu’ad digunakan
untuk menyebut “hati” dari makhluk hidup, pengertian kata fu’ad yang
seperti ini dikaitkan dengan kata tafa’ud yang berarti
‘menyala’ atau “bergelora” kenapa demikian, dikarenakan panas merupakan sumber
energi yang dapat memberikan perasaan segar dan dapat pula menghanguskan
benda-benda lain di sekitarnya. Begitu pula mengenai hati manusia bisa membangkitkan
semangat dan bisa pula melemahkannya.
Kata fu’ad di dalam al-Qur’an disebutkan
sebanyak lima kali yakni di dalam Qs. Al-Isra : 37, Qs. Al-Qashash: 10, Qs.
An-Najm: 11, Qs. Al-Furqan: 32, Qs. Al-Hud: 120. Di dalam beberapa surah
seperti Qs. Al-Isra: 36, Qs An-Nahl: 78 penyebutan kata fu’ad sering
kali diiringi dengan penyebutan kata as-sama, al-bashar atau al-abshar,
itu menunjukan begitu erat kaitannya antara hati manusia dengan pendengaran
serta penglihatan mereka sehingga apa yang didengar dan dilihat dapat
mempengaruhi gelora hatinya.[8]
G.
Qalb
Kata qalb bermakna membalik karena qalb itu
berpotensi untuk tidak konsisten, maka sering kali ia berbolak-balik, sekali
senang sekali susah. Dalam Al-Qur’an juga menggambarkan qalb sepertin
itu, sesuai dengan firman Allah Swt Qs. Qaf :37:
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
Qs.
Ali Imran : 151
Akan
Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan
keterangan tentang itu.Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah
seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim.
Berdasarkan ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa kalbu
merupakan suatu wadah dari pengajaran, kasih saying, takut dan keimanan,
sehingga bisa diartikan kalbu itu mampu menampung hal-hal yang
disadari oleh pemilikya.
Perbedaan mengenai kalbu dan nafs yakni kalau nafs itu
menampung apa yang berada di bawah sadar atau sesuatu yang tidak dinginkan,
sedangkan kalbu ia menampung sesuatu yang disadari oleh pemiliknya. Dari sini
dapat dipahami mengapa yang dituntut untuk dipertanggungjawabkan hanya isi
kalbu bukan isi nafs.
Qs. Al-Baqarah: 225
Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu)
yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu.DanAllah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun.
Qs. Al-Isra: 25
Tuhanmu
lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik,
maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.
Dalam beberapa ayat, kataqalb yang merupakan
wadah itu terkadang difahami sebagai alat seperti dalam firman-Nya:
Mereka mempunyai kalbu tetapi tidak digunakan untuk memahami
(Qs. AL-A’raf: 179).
Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam)
kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata
(tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan
mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar
(ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih
sesat lagi.Mereka itulah orang-orang yang lalai.
H.
Aql
Mengenai kata aql yang
bersifat individual tidak ditemukan dalam al-qur’an, yang ada hanya bentuk kata
kerjanya, masa kini dan lampau saja.Dalam segi bahasa pada mulanya
berarti tali pengikat, penghalang, dalam Al-Qur’an kata aql digunakan
bagi sesuatu yang mengikat atau menghalangi seseorang terjerumusdalam kesalahan
dan dosa. Yang dimaksud sesuatu itu Al-Qur’an tidak menjelaskannya seca
eksplisit, namun dari konteks ayat-ayat yang menggunakan akar kata aql dapat
dipahami sebagai berikut:
Daya untuk memahami dan menggambarkan sesuatu
Qs.Al-Ankabut: 43
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan
tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu
Daya untuk mengambil pelajaran dan
kesimpulan serta hikmah.
Qs.
Al-Mulk: 10
erkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang
menyala-nyala”.
I. Bani Adam
Manusia
sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam al-Qur’an. Dalam
konteks ayat-ayat yang mengandung konsep Bani Adam, manusia diingatkan
agar tidak tergoda oleh Syaitan sebagai mana dalam (QS.Al-A’raf: 26-27),
seperti pencegahan dari berlebih-lebihan baik itu makan dan minum dan tata cara
yang berpakaian yang pantas saat beribadah (QS.Al-A’raf: 31), bertaqwa dan
mengadakan perbaikan( QS. Al-A’raf: 35). Bani Adam dalam (QS: Al-A’raf:
172), menjelaskan tentang kesaksian manusia terhadap Tuhannya , dan terakhir
peringatan agar manusia tidak terpedaya hingga menyembah
setan, dengan mewanti-wanti manusia mengenai status setan sebagai musuh
yang nyata yang tertera (QS. Yasin: 60).
Penjelasan
ayat-ayat diatas mengisyaratkan bahwa, manusia selaku Bani Adam dikaitkan
dengan gambaran peran Adam as. aat awal diciptakan para malaikat seakan
menghawatirkan kehadiran makhluk ini. Mereka memperkirakan dengan penciptaanya,
manusia akan menjadi biang kerusakan dan pertumpahan darah. Kemudian
terbukti bahwa Adam As. dan istrinya Siti Hawa karena kekeliruan
akhirnya terjebak oleh hasutan setan hingga oleh Allah, Keduanya dikeluarkan
dari surge dsebagi hukuman atas kelalaian yang mereka perbuat. sebagaimana
dikisahkan dalam (QS. Al-Baqarah: 35-36). Tampaknya manusia selaku Bani Adam
memang termasuk makhluk bermasalah. memiliki peluang untuk digoda setan.
J. Abd
Allah
Al-Qur’an juga menamakan manusia
dengan Abd Allah yang berarti abdi atau hamba Allah. Menurut Prof Quraish
Shihab, seluruh makhluk memiliki potensi berperasaan dan
berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah. Kepemilikan
Allah terhadapa makhluk tersebut merupakan kepemilikan mutlak dan sempurna.
Dengan demikian Abd Allah tersebut tidak dapat berdiri
sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktifitasnya dalam
kehidupan itu.
Al-Ishfahani memaknai kata Abd juga berarti ibadah,sebagai
pernyataan kerendahan diri. Kemudian ibadah itu sendiri hanya
diperuntukkan kepada Allah semata (QS. Yusuf: 40)yang menunjukkan
sikap kerendahan diri paling puncak dan sempurna dari seorang hamba.[9]
BAB III
PENUTUP
1.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat kita ambil sebagai hikmah ialah bahwa
ternyata manusia mempunyai kedudukan yang tinggi dimata Allah. Dikatakan
demikian karena memang Allah memberikan banyak petunjuk kepada manusia dalam
Firman-Nya. Banyak sekali dapat kita temukan konsep manusia dalam al-Qur’an.
Untuk itu, kita sebagai manusia tentunya haruslah tetap bersyukur menjadi
hamba-Nya, selalu mengingat Allah dan teruslah mengkaji al-Qur’an yang tentunya
bermanfaat bagi manusia yakni kita sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Ensiklopedia Al-Qur’an jilid 1
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2002)
M.Dawam Rahardjo, Ensiklopedi
Al-Qur’an, 2002, Paramadina: Jakarta
Quraish Shihab, Ensiklopedia Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2007)
Comments
Post a Comment