makalah al-a'malu binniat

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
الأعمال adalah bentuk jamak dari العمل, yaitu segala sesuatu yang dilakukan seorang mukallaf dan ucapan termasuk dalam definisi ini. Yang perlu diperhatikan maksud amal dalam hadits tersebut tidak terbatas pada ucapan, perbuatan atau keyakinan semata, namun lafadz الأعمال dalam hadits di atas adalah segala sesuatu yang dilakukan mukallaf berupa perkataan, perbuatan, ucapan hati, amalan hati, perkataan lisan dan amalan anggota tubuh. Maka seluruh perkara yang berkaitan dengan iman termasuk dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya] karena iman terdiri dari ucapan (baik ucapan lisan maupun ucapan hati) dan amalan (baik amalan hati dan amalan anggota tubuh). Maka seluruh perbuatan mukallaf tercakup dalam sabda beliau di atas.  Namun keumuman lafadz الأعمال dalam hadits ini tidaklah mutlak, karena yang dimaksud dalam hadits tersebut hanya sebagian amal saja, tidak mutlak walaupun lafadznya umum. Hal ini dapat diketahui bagi mereka yang telah mempelajari ilmu ushul. Karena segala amalan yang tidak dipersyaratkan niat untuk mengerjakannya tidaklah termasuk dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya], seperti meninggalkan keharaman, mengembalikan hak-hak orang yang dizhalimi, menghilangkan najis dan yang semisalnya.
Yang dimaksud dengan amal adalah gerakan badan (al-harakah al-badan) termasuk didalamnya ucapan  dan gerakan jiwa. Huruf Alif dan lam pada kata al-a’mal berpungsi sebagi li al-istghraq yang berarti keseluruhan amal tampa terkecuali. Huruf Ba pada kata bi al-Niyat, berpungsi li al-Mushahabah  yang berari harus berbarengan, ada juga yang mengatakan  bermakna sababiyah. Niyat, dalam bahasa fiqh niat diartikan bermaksud melakukan sesuatu dibarengi dengan pekerjaannya. Sedangkan apabila baru berencana kuat sementara pekerjaannya belum di lakukan maka ia dinamakan ‘azam (al-‘azm).
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah kedudukan niat dalam beramal?















BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan Niat dalam Beramal
 حدثنا ‏ ‏الحميدي عبد الله بن الزبير ‏ ‏قال حدثنا ‏ ‏سفيان ‏ ‏قال حدثنا ‏ ‏يحيى بن سعيد الأنصاري ‏ ‏قال أخبرني ‏ ‏محمد بن إبراهيم التيمي ‏ ‏أنه سمع ‏ ‏علقمة بن وقاص الليثي ‏ ‏يقول سمعت ‏ ‏عمر بن الخطاب ‏ ‏رضي الله عنه ‏ ‏على المنبر ‏قال سمعت رسول الله ‏ ‏صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يقول ‏ ‏إنما الأعمال ‏ ‏بالنيات ‏ ‏وإنما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته إلى دنيا ‏ ‏يصيبها ‏ ‏أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هاجر إليه ‏
Artinya:Telah bercerita al-Humaidi Abdullah bin al-Zubair berkata bahwa Sufian berkata kepada kami Yahya bin Said Al-Anshari berkata Muhammad Bin Ibrahim mengatakan kepada saya bahwa ia pernah mendengar Alqamah bin Waqash al-Laitsi, ia berkata, "Saya mendengar Umar bin Al-Khathab radhiyallahu 'anhu  berkata di atas mimbar : “Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Semua amal harus pakai niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuai apa yang ia niatkan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan rasul-Nya maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju." (HR. Bukhari – Muslim)
Hadits ini sangat penting, karena menjadi orientasi seluruh hukum dalam Islam. Ini bisa dilihat dari pendapat para ulama. Abu Dawud berkata, "Hadits ini merupakan setengah dari ajaran Islam. Karena agama bertumpu pada dua hal: sisi lahiriyah (amal perbuatan) dan sisi batiniyah (niat)." Imam Ahmad dan Imam Syafi’i berkata, "Hadits ini mencakup sepertiga ilmu, karena perbuatan manusia terkait dengan tiga hal: Hati, lisan, dan anggota badan. Sedangkan niat dalam hati merupakan salah satu dari tiga hal tersebut."[1]
Mengingat urgensinya, maka banyak ulama yang mengawali berbagai buku dan karangannya dengan hadits ini. Imam Bukhari menempatkan hadits ini di awal kitab shahihnya. Imam Nawawi menempatkan hadits ini pada urutan pertama dalam tiga bukunya: Riyadhus Shalihin, Al-Adzkar, dan Al-Arba’in An-Nawawiyah. Ini dimaksudkan agar pembaca menyadari pentingnya niat, sehingga ia akan meluruskan niatnya hanya karena Allah, baik ketika menuntut ilmu atau melakukan perbuatan baik yang lain. Urgensi hadits ini juga dipertegas oleh riwayat Bukhari yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah  berkhutbah  dengan hadits ini, begitu juga Umar ra. Abu ‘Ubaid berkata, "Tidak ada hadits yang lebih luas dan padat maknanya dari hadits ini."
Kandungan hadits ini menegaskan betapa niat menempati kedudukan yang sangat penting dalam sebuah amal kebaikan.[2] Al-Baidhawi berkata, ”Amal ibadah tidak akan sah kecuali jika diiringi dengan niat. Karena, niat tanpa amal diberi pahala, sementara amal tanpa niat adalah sia-sia. Perumpamaan niat bagi amal ibarat ruh bagi jasad. Jasad tidak akan hidup tanpa ruh, dan ruh tidak akan tampak jika terpisah dari jasad.” Namun demikian ada juga ulama yang berpendapat bahwa bahwa sesungguhnya kesempurnaan amal itu harus dengan niat. Dengan demikian niat hanyalah sekedar penyempurna saja bagi suatu amal.
Semua perbuatan baik dan bermanfaat, jika diiringi niat yang ikhlas dan hanya mencari keridhaan Allah Swt, maka perbuatan tersebut adalah ibadah. Hadits ini mendorong kita untuk ikhlas dalam segala perbuatan dan ibadah agar mendapat pahala di akhirat serta ketenangan di dunia. Adalah kehendak Allah Swt melalui hadits ini bahwa masalah keikhlasan niat dalam berhijrah pada peristiwa tersebut mendapatkan saingan dari keinginan menikahi seseorang wanita. Mereka sama-sama berhijrah. Secara zahir, perbuatan mereka sama, namun tujuan akhirnya berbeda.  
Hadits tentang niat ini  merupakan  salah  satu  dari  hadits-hadits yang menjadi inti ajaran islam, Imam an-Nawawi rohimahulloh berkata:” Kaum muslimin telah berijma’ akan keagungan kedudukan hadits ini dan banyaknya faidah-faidah serta keabsahannya.[3]” Dan Imam Abdurrahman bin mahdi berkata:” Dianjurkan bagi yang menulis suatu kitab untuk hendak memulai dalam kitabnya dengan hadits ini sebagai peringatan bagi penuntut (ilmu) agar memperbaiki niatnya.” Imam Ahmad rahimahullah dan Imam syafi’i rahimahullah berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata : Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh. Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata : Hadits ini merupakan sepertiga Islam.[4]
Kemudian Rasulullah saw. memberikan contoh realisasi hadits ini pada hijrah seseorang:
(( فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ ))
“Siapa yang hijrahnya  karena (ingin mendapatkan keridhaan) Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”
Hijrah tingkah laku: Yaitu dengan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah swt. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( اَلْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ
مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نهَىَ اللهُ عَنْهُ )
Dari Abdullah bin Amr ra. dari Nabi alaihisolatu wassalam bersabda:” Seorang muslim adalah orang yang mampu menyelamatkan orang-orang muslim (yang lain) dengan lisannya dan tangannya sedangkan orang yang hijroh itu adalah orang yang bisa hijroh (pergi) dari apa-apa yang telah dilarang oleh Alloh.” (H.R. Bukhari no:6484 dan Muslim no:162 dan Ahmad no:6515)[5]
2.2 Seluruh Amalan Itu Bergantung Pada Niatnya
Terdapat beberapa lafadz dalam sabda Nab         innamal a’malu binniat”  terkadang lafadz النية dan العمل disebutkan dalam bentuk tunggal atau jamak walaupun demikian kedua bentuk tersebut memiliki makna yang sama, karena lafadz العمل dan النية dalam bentuk tunggal mencakup seluruh jenis amalan dan niat.  Di dalam sabda beliau [Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya] terkandung pembatasan. Karena lafadz “innama” merupakan salah satu lafadz pembatas seperti yang dijelaskan oleh ahli bahasa. Pembatasan tersebut mengharuskan setiap amalan dilandasi dengan niat, Terdapat beberapa pendapat mengenai maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”Innamal a’malu binniat”  Pendapat pertama, mengatakan sesungguhnya maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “innamal a’malu binniat” yaitu keabsahan dan diterimanya suatu amalan adalah karena niat yang melandasinya, sehingga sabda beliau ini berkaitan dengan keabsahan suatu amalan dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya “wainnama likulli umuri maa nawiya” maksudnya adalah seseorang akan mendapatkan ganjaran dari amalan yang dia kerjakan sesuai dengan niat yang melandasi amalnya.  Pendapat kedua mengatakan bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “innamal a’malu binniat” menerangkan bahwa sebab terjadi suatu amalan adalah dengan niat, karena segala amalan yang dilakukan seseorang mesti dilandasi dengan keinginan dan maksud untuk beramal, dan itulah niat.[6] Maka faktor pendorong terwujudnya suatu amalan, baik amalan yang baik maupun yang buruk adalah keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Apabila hati ingin melakukan suatu amalan dan kemampuan untuk melakukannya ada, maka amalan tersebut akan terlaksana. Sehingga maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “innamal a’malu binniat” adalah amalan akan terwujud dan terlaksana dengan sebab adanya niat, yaitu keinginan hati untuk melakukan amalan tersebut. Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “wainnama likulli umuri maa nawiya” memiliki kandungan bahwa ganjaran pahala akan diperoleh oleh seseorang apabila niatnya benar, apabila niatnya benar maka amalan tersebut merupakan amalan yang shalih. Pendapat yang kuat adalah pendapat pertama, karena niat berfungsi mengesahkan suatu amalan dan sabda beliau “Sesungguhnya seluruh amalan itu bergantung pada niatnya dan setiap orang akan mendapatkan ganjaran sesuai dengan apa yang diniatkannya” adalah penjelasan terhadap perkara-perkara yang dituntut oleh syari’at bukan sebagai penjelas terhadap seluruh perkara-perkara yang terjadi.  Jika niat adalah keinginan dan kehendak hati, maka niat tidak boleh diucapkan dengan lisan karena tempatnya adalah di hati karena seseorang berkeinginan atau berkehendak di dalam hatinya untuk melakukan sesuatu.[7] Maka amalan yang dimaksud dalam hadits ini adalah amalan yang dilandasi dengan keinginan dan kehendak hati, atau dengan kata lain amalan yang disertai pengharapan untuk mendapatkan wajah Allah. Oleh karena itu makna niat ditunjukkan dengan lafadz yang berbeda-beda. Terkadang dengan lafadz الإرادة dan terkadang dengan lafadz الابتغاء atau lafadz lain yang semisalnya.
Seperti firman Allah,
لِلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allah; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar Ruum: 38). Jadi kedukan niat dalam setiap amal adalah hal yang palin utama, niat yang baik akan menghasilkan yang baik pula untuk setiap amalan yang akan dilakukan.
BAB III
PENUTUP

1.      Kesimpulan
 Niat dalam ajaran Islam mempunyai arti yang sangat penting, sebab ia merupakan kunci kebermaknaan amal di sisi Allah. swt. Semua bentuk perbuatan yang orientasinya adalah mengharap pahala dari Allah swt. hanya dapat dinilai jika didasari dengan niat. Niat itulah yang menentukan nilai dan kualitas sebuah perbuatan. Pahala yang diperolehnya pun sesuai dengan yang menjadi motivasi dalam melakukan perbuatan tertentu.
Riya akan sangat merugikan bagi pelakunya, karena segala amal ibadahnya akan sia-sia. Itulah sebabnya riya sangat berbahaya, bahkan dikategorikan sebagai syirik kecil. Namun demikian, seseorang tidak boleh enggan untuk beramal karena takut riya. Tetapi yang bijaksana adalah tetap berpacu dalam memperbanyak ibadah dan amal kebajikan seraya memohon taufiq dari Allah swt. agar dikaruniai keikhlasan dalam segala amalannya.
2.        Saran
Dengan adanya makalah mengenai niat/motivasi beramal dan menjauhi perbuatan  riya/syirik kecil, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang bagaimana posisi niat dalam beramal dan menjauhi perbuatan riya’. Sehingga dapat menambah khasah ilmu pengetahuan kita. Penyusun menyadari sebaik apapun sebuah karya tulis dalam makalah ini,  kiranya akan lebih baik lagi jikalau teman-teman mahasiswa dan lebih khusus dosen pengasuh mata kuliah fiqih dapat memberikan sumbang saran yang membangun sehingga makalah ini akan menjadi bahan pembelajaran yang berkembang untuk pembuatan karya ilmiah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhib al-Ghafilin; Pembangun Jiwa Moral, penerjemah: Abu Imam Taqiyuddin, BA.m (Malang: Dar al-Ihya, 1986)
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin diterjemahkan Irwan Kurniawan (Cet ke I, Bandung; PT. Mizan Pustaka, 1990)
Husaini Majid Hasyim , Syarah Riyadhush Shalihin  Jilid I, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993).
 Ibnu Hajar Ats-Qalani alih bahasa Masdar Helmy, Bulughul Maram .Bab Peringatan Untuk Menghindari Kejelekan Akhlak (Cet ke III, Bandung; CV. Gema Risalah Press, 1994)
Imam An-Nawawi, Terjemah Hadis Arba’in, Jakarta, Al-I’tishon Cahaya Umat, 2008.
Musnad Ahmad 22523, Kitab: 13. Sisa Musnad Sahabat Anshor, Bab; 1057. Hadist Mahmud Bin Labid Radiyallahu’anhu. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia.
Shahih Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu Bergantung Dengan Niat dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia
Syamsudin al-Dzahaby, al-Kabair (Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.t), 2008.
 http//salafidb.googlepage.com, Imam Nawawi, Penjelasan Hadist Arbai’in: Bab Niat, 07-04-2013



[1] Ibn Daqiq al-‘Ied, Syarh al-Arba’in, juz 1, h. 9  (maktabah Syamilah)
[2] Al-Faqih Abu Laits Samarqandi, Tanhib al-Ghafilin; Pembangun Jiwa Moral, penerjemah: Abu Imam Taqiyuddin, BA.m (Malang: Dar al-Ihya, 1986), h. 15.
[3] Syamsudin al-Dzahaby, al-Kabair (Jakarta: Dinamika Berkat Utama, t.t), hal. 123.
[4] Husaini Majid Hasyim , Syarah Riyadhush Shalihin  Jilid I, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993). hal.15-16
[5] Shahih Bukhari 52, Kitab: 2. Iman, Bab: 40. Sesungguhnya Amal Itu Bergantung Dengan Niat dan Pengharap. Dalam http://lidwa.com./app/ Kitab Hadis 9 Imam Online Terjemah Indonesia.
[6]Husaini Majid Hasyim , Syarah Riyadhush Shalihin  Jilid I, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993). hal.15-16
[7] Ibnu Hajar Ats-Qalani alih bahasa Masdar Helmy, Bulughul Maram .Bab Peringatan Untuk Menghindari Kejelekan Akhlak (Cet ke III, Bandung; CV. Gema Risalah Press, 1994) Hal.489

Comments