TIDAK MEMBEDA-BEDAKAN PARA RASUL ALLAH
DISUSUN
OLEH :
1.
Fitri
Maulia Agusti : 140403090
FAKULTAS
DAKWAH PRODI MANAJEMEN DAKWAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGRI AR-RANIRY
DARUSSALAM,
BANDA ACEH
2016
KATA PENGANTAR
Dengan rahmat dan hidayah Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan
makalah sederhana ini yang tak pernah lepas dari segala kekurangan dan
kesalahan. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas yang telah dibebankan kepada
mahasiswa, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh dan untuk menjalankan
kewajiban yang telah ditentukan oleh Allah Yang Maha Esa yaitu Menuntut Ilmu.
Penulis menyadari, dalam penyelesaian makalah sederhana ini masih banyak
terdapat kekurangan, kesalahan, dan kelemahaan, karena itu sumbangan fikiran,
kritik atau tanggapan dari rekan-rekan sangat penulis harapkan untuk perbaikan
pada pembuatan makalah berikutnya. Akhirnya, dengan tulus hati penulis
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan kelompok yang telah bekerja sama
dan bertukar fikiran, juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
penyelesaian makalah sederhana ini. Kepada Allah SWT, penulis mohon taufiq dan
hidayah-Nya semoga makalah sederhana ini bermanfaat dan semoga senantiasa dalam
keridhaan –Nya. Amin.
Banda Aceh,15 Januari 2016
P e n u l i s
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia merupakan mahluk Allah yang paling sempurna, karena Allah telah
melengkapi manusia dengan akal pikiran yang harus dipergunakan sebagai
pengendali hawa nafsu sehingga dapat membedakan hal yang baik dan yang buruk. Manusia
sempurna yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa, yaitu
orang yang benar-benar beriman melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Iman kepada Rasul termasuk rukun iman yang keempat dari enamrukun
yang wajib di diimani oleh setiap umat Islam.
Maksud dari iman kepada Rasul ialah meyakini dengan sepenuh hati bahwa
Rasul adalah orang-orang yang telah di pilih oleh Allah SWT Untuk menerima
wahyu dari-Nya untuk di sampaikan kepada seluruh umat manusia agar dijadikan pedoman
hidup demi memperoleh kebahagiayan di dunia maupun di akhirat. Larangan
membeda-bedakan antara para Nabi dalam hal nubuwwah. Semua Nabi diutus oleh
Allah sebagaimana halnya Nabi kita Muhammad.
Tidak boleh melebihkan seorang Nabi atas Nabi lain kecuali dengan dalil
yang jelas dan shahih. Tidak boleh berdebat dengan Ahli Kitab dan melebihkan
sebagian Nabi atas sebagian lainnya dengan membanding-bandingkannya. Karena
apa-bila hal tersebut dilakukan oleh para pemeluk dari dua agama, maka akan
menjurus kepada pelecehan dan penghinaan terhadap salah seorang Nabi. Dan akan
menyeret kepada pertengkaran dan perselisihan. Dan bisa juga menyeret kepada
kekufuran, wal iyadzu billab.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Larangan Membedakan Para Rasul Allah
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya artinya
semua mereka, dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak
Allah akan memberikan kepada mereka pahala artinya pahala amal perbuatan mereka
bagi kekasih-kekasih-Nya, kepada ahli taat-Nya. Adapun orang-orang yang beriman
kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan tidak mendustakan salah satu dari mereka,
maka Allah akan memberi pahala yang besar atas kesempurnaan iman mereka.
Sungguh Allah Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertobat, Maha Penyayang
kepada hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya kita sebagai hamba Allah tidak boleh
membeda bedakan para Nabi dan Rasu-Rasul Allah.
1.Firman Allah Q.S. Al-Baqarah Ayat 285 :
آمَنَ
الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ ۚ كُلٌّ آمَنَ
بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ
مِنْ رُسُلِهِ ۚ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۖ غُفْرَانَكَ رَبَّنَا
وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
“Rasul telah beriman kepada Al Quran yang
diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman.
Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan
rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara
seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan:
"Kami dengar dan kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya
Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali".
Tafsiran :
a.
Qurais Syihab
Sesungguhnya apa yang diturunkan kepada
Rasulullah, Muhammad, itu adalah kebenaran dari Allah. Ia telah mengimaninya.
Begitu juga orang-orang Mukmin yang bersamanya. Mereka semuanya beriman kepada
Allah, para malaikat, kitab-kitab, dan Rasul-rasul-Nya. Mereka menyamakan
penghormatan dan keimanan kepada rasul-rasul Allah dengan mengatakan,
"Kami tidak membeda-bedakan rasul-rasul-Nya, satu dengan yang
lainnya." Dan mereka menegaskan keimanan hati dengan ungkapan lisan seraya
menengadah kepada Allah, "Ya Tuhan, kami dengar pesan-pesan-Mu dan kami
ikuti, maka berikanlah kami ampunan, ya Allah. Hanya kepada-Mulah tempat
kembali."[1]
b.
Tafsir Jalalayn
(Telah beriman), artinya
membenarkan (Rasul), yakni Muhammad (terhadap apa yang diturunkan kepadanya
dari Tuhannya), yakni Alquran, demikian pula (orang-orang yang beriman),
ma`thuf atau dihubungkan kepada Rasul (semuanya), tanwinnya menjadi pengganti
bagi mudhaf ilaih (beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya dan
Kitab-Kitab-Nya) ada yang membaca secara jamak dan ada pula secara mufrad atau
tunggal (serta para Rasul-Nya) kata mereka, ("Kami tidak membeda-bedakan
antara seseorang pun di antara Rasul-Rasul-Nya") hingga kami beriman
kepada sebagian dan kafir kepada lainnya, sebagaimana dilakukan oleh
orang-orang Yahudi dan Kristen (Dan mereka mengatakan, "Kami
dengar"), maksudnya apa yang diperintahkan kepada kami itu, disertai
dengan penerimaan (dan kami taati) serta kami bermohon, ("Ampunilah kami,
wahai Tuhan kami, dan kepada Engkaulah kami kembali"), yakni dengan adanya
saat berbangkit. Tatkala turun ayat yang sebelumnya, orang-orang mukmin
mengadukan waswas dan kekhawatiran mereka serta terasa berat bagi mereka saat
perhitungan.[2]
2.Firman Allah Q.S An-Nisa Ayat 152 :
وَالَّذِينَ
آمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ
أُولَٰئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُورَهُمْ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“ Orang-orang yang beriman kepada Allah dan
para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka, kelak
Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.
Tafsiran :
a.
Tafsir Jalalayn
(Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya) artinya
semua mereka (dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka kelak
Allah akan memberikan kepada mereka) dengan memakai nun atau ya (pahala mereka)
artinya pahala amal perbuatan mereka (dan Allah Maha Pengampun) bagi
kekasih-kekasih-Nya (lagi Maha Penyayang) kepada ahli taat-Nya.[3]
b.
Tafsir Qurais
Syihab
Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,
dan tidak mendustakan salah satu dari mereka, maka Allah akan memberi pahala
yang besar atas kesempurnaan iman mereka. Sungguh Allah Maha Pengampun bagi
orang-orang yang bertobat, Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.[4]
Dalam
ayat ini Allah Swt menegaskan kepada kaum muslimin agar tidak membeda-bedakan
seorang pun diantara mereka para nabi dan rasul yang telah diutuskan oleh Allah
Swt secara silih berganti untuk menyampaikan tuntutan dan perintah-Nya karena
itu semua harus diikuti oleh seluruh ummat, karena diantara mereka (Nabi) tidak
ada perbedaan antara satu dengan yang lain, mereka sama-sama menyampaikan dan
membawa ajaran Allah Swt.[5] Sebagai seorang
muslim kita harus memiliki pandangan i’tikadnya yang meliputi keimanan kepada
Allah dan Rasul-Nya, tanpa membedakan sebagian dengan sebagian yang lain, kita
harus menghormati dan mempercayai semua Rasul. Semua agama samawi adalah
benar-benar selama belum ada terjadi penyimpangan dan perubahan sehingga
apabila telah terjadi perubahan oleh tangan-tangan manusia, maka itu bukan
agama Allah lagi.[6]
Manusia muslim diharapkan menjadi manusia yang utuh, sehingga tidak terjadi
pemisahan antara Aqidah, Syariat, dan Ahklak. Perasaan dan perilaku, perbuatan
dan moral, ide dan kenyataan, dunia dan akhirat, tetapi masing-masing menjadi
bagian yang saling melengkapi, jasad tidak mengalahkan ruh, dan ruh pun tidak
menghalangi kebutuhan jasad, kenyataan memperkaya imajinasi dan imajinasi akan
mendorong lahirnya kenyataan, kecenderungan individu memperkukuhkan keutuhan
kolektif dan kesatuan kolektif mendukung kepentingan individu.[7]
Dalam sebuah hadist juga dijelaskan bahwa
:
عن أبى هريرة
رضى الله عنه ، عن النّبيّ صلى الله عليه وسلم ، قال : دَعُوْنِي مَاتَرَكْتُكُمْ
، إِنَّما أَهْلُكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَثْرَةُ سُؤالِهِمْ وَاخْتلافُهُمْ
عَلَى أَنْبِيَا إِىهِمْ ، فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ ِشَيْء فَاجْتَنِبُوهُ ،
وَإِذَا أمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ .
Artinya:Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra.
Dari nabi Muhammad Saw, beliau bersabda: ”Biarkanlah aku, perihal apa-apa yang
aku tinggalkan untuk kalian, karena orang-orang sebelum kalian celaka lantaran
banyaknya pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap nabi-nabi mereka, karena
itu jika aku melarang sesuatu kepada kamu sekalian maka jauhilah, dan jika aku
memerintahkan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian”.[8]
Dari hadits
diatas juga dijelaskan bahwa seorang muslim diwajibkan untuk beriman kepada
Allah dan rasul-Nya serta menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah dan
rasul-Nya itu, dan tidak membeda-bedakan diantara mereka serta meyakini kitab
yang diturunkan oleh Allah dari langit kepada hamba Allah yang menjadi nabi
atau rasul, karena seluruh nabi atau rasul itu adalah benar, baik, sebagai
pembimbing, dan memberi petunjuk kepada jalan kebaikan, meskipun sebagian rasul
itu menghapus sebagian syariat nabi yang lain dengan seizin Allah Swt.[9]
Lain halnya
dengan kaum kafir yang mereka ingin membeda-bedakan antara satu nabi dengan
lainnya, yang mereka tersebet sangat pantas dicap sebagai kaum yang kufur dan
Allah menyediakan bagi orang-orang kafir itu siksa yang menghinakan. Allah yang
Mahasuci Mengancam kaum Yahudi dan Nasrani yang kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya, karena mereka membeda-bedakan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya
sehingga mereka mengimani sebagian nabi dan mengkufuri sebagiannya lagi, yang
semata-mata karena soal selera, kebiasaan dan perilaku nenek moyang mereka yang
didapatkan bukan melalui suatu dalil yang menuntun mereka kepada keputusan itu,
namun semata-mata karena keinginan dan kefanatisme.[10]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan:
Allah telah menjelaskan dalam surat
Al-Baqarah:285 An-Nisa:152 bahwa seorang mukmin yang beriman itu diwajibkan
untuk mempercayai dan meyakini kepada nabi dan rasul yang telah diutuskan Allah
kepada manusia sebagai pembawa ajaran yang benar dan tidak membeda-bedakan diantara
mereka (Nabi) serta meyakini kitab yang yang diturunkan kepadanya. Karena
banyak dikalangan umat sekarang yang tidak meyakini dan mengimani kepada rasul
Allah. Tidak jauh mari kita melihat disekitar kita sekarang kelompok-kelompok
yang tidak mempercayai kepada nabi dan sunnah rasul yang lebih dikenal dengan
kelompok Ingkar Sunnah.
1.
Iman yang benar adalah iman kepada Allah dan
kepada Rasul-Nya, tanpa membeda-bedakan antara para nabi-nabi yang terdahulu.
2.
Iman dan kekafiran adalah dua perkara yang bertentangan
yang tidak dapat berkumpul menjadi satu, dan tiada jalan tengah diantara
kleduanya.
3.
Orang yang tidak mempercayai rasul Allah dan
tidak mempercayai pada sebagiannya termasuk orang-orang kafir, yang akan
mendapat siksa yang menghinakan.
4.
Orang-orang yang beriman kepada Allah dan
sekalian rasul-Nya tanpa membeda-beda diantara mereka, akan diberi pahala oleh
Allah di hari kiamat kelak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran dan Tafsirnya, Universitas Islam Indonesia. 1995
Hamka, Tafsir
Al-Azhar, (V-VI). PT. Pustaka Panjimas-Jakarta. 1983
M. Q uraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (2), Lentera
Hati:Ciputal. 2000
…………………..., Tafsir Al-Misbah, (2). Lentera
Hati:Tangerang. 2006
Mutafaqun ‘Alaihi Bukhari:7288, Muslim:1337
Muhammad
Nasib Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (jilid 1),. Gema
Insani:Jakarta. 1999
Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Quran, (5). Gema
Insani:Jakarta. 2002
[1] M. Q uraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah (2), Lentera Hati:Ciputal. 2000, hlm. 609.
[2] Ringkasan
Tafsir Ibnu Katsir (jilid 1), Muhammad Nasib Ar-Rifa’i. Gema
Insani:Jakarta. 1999, hlm. 830
[3] M. Q uraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah (2), Lentera Hati:Ciputal. 2000, hlm. 612
[4]Muhammad Nasib
Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (jilid 1), Gema Insani:Jakarta.
1999, hlm. 830
[7]Hamka, Tafsir Al-Azhar (V-VI). PT. Pustaka
Panjimas-Jakarta. 1983, hal. 12
[8] Mutafaqun
‘Alaihi Bukhari:7288, Muslim:1337
[10] Sayyid Quthb, Tafsir
fi Zhilalil Quran, (5). Gema Insani:Jakarta. 2002, hal. 186
Comments
Post a Comment