PANDANGAN MAHASISWA NON MUSLIM/KRISTEN TERHADAP TAHUN BARU



PANDANGAN MAHASISWA NON MUSLIM/KRISTEN TERHADAP TAHUN BARU


DISUSUN
OLEH :
YURNITA
NIM: 321203208












FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2016 M / 1437 H
 

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Meskipun hampir setiap menjelang pergantian tahun baru, hujan mengguyur sebagian besar wilayah Indonesia dengan deras, hal itu tidak menyurutkan semangat warga masyarakat untuk menyambut tahun baru.bahkan Mahasiswa kaum intelektual terlena juga dalam tradisi yang dilarang agama islam ini. Apa yang terjadi pada malam pergantian tahun baru, pembaca mungkin lebih tahu. Mulai dari aneka hiburan, pesta pora, hura-hura, perzinaan, dan lain-lain, hadir dalam perayaan malam itu. Belum lagi kalau kita membicarakan hukum merayakan pergantian tahun baru masehi, boleh atau tidak, haram atau tidak bagi kaum Muslimin. Tahun baru masehi sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Nasrani. Masehi adalah nama lain dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Sejarahnya, menurut catatan di Encarta Reference Library  Premium 2005, orang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada tahun 45 SM jika menggunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1.      Bagaimanakah pandangan mahasiswa Kristen mengenai tahun baru 2016?
C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui bagaimanakah pandangan mahasiswa non Musli/Kristen terhadap tahun baru masehi.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Tahun Baru
Tahun baru adalah suatu perayaan di mana suatu budaya merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Budaya yang mempunyai kalender tahunan semuanya mempunyai perayaan tahun baru. Hari tahun baru di Indonesia jatuh pada tanggal 1 Januari karena Indonesia mengadopsi kalender Gregorian, sama seperti mayoritas negara-negara di dunia.[1]
B.     Konsep Tahun Baru Menrut Al-Kitab
Alkitab memperingatkan orang Kristen agar ”berjalan dengan sopan, tidak dengan pesta pora dan bermabuk-mabukan”.* (Roma 13:12-14; Galatia 5:19-21; 1 Petrus 4:3) Karena kemeriahan Tahun Baru selalu dicirikan oleh tingkah laku kelewat batas yang dikutuk Alkitab, orang Kristen tidak berpartisipasi di dalamnya. Hal ini tidak mengartikan bahwa orang Kristen anti terhadap kesenangan. Sebaliknya, mereka tahu bahwa Alkitab berulang kali memberi tahu para penyembah Allah yang benar agar bersukacita—dan hal itu untuk sejumlah alasan. (Ulangan 26:10, 11; Mazmur 32:11; Amsal 5:15-19; Pengkhotbah 3:22; 11:9) Alkitab juga mengakui bahwa sukacita sering kali diwarnai oleh makanan dan minuman.—Mazmur 104:15; Pengkhotbah 9:7a.[2]
Akan tetapi, seperti yang sudah kita lihat, perayaan Tahun Baru berakar pada kebiasaan-kebiasaan kafir. Ibadat palsu adalah najis dan memuakkan dalam pandangan Allah Yehuwa, dan orang Kristen menolak praktek-praktek yang berasal usul seperti itu. (Ulangan 18:9-12; Yehezkiel 22:3, 4) Rasul Paulus menulis, ”Apakah ada persekutuan antara keadilbenaran dengan pelanggaran hukum? Atau apakah ada persamaan antara terang dengan kegelapan? Selanjutnya, apakah ada keselarasan antara Kristus dan Belial?” Sungguh tepat, Paulus menambahkan, ”Berhentilah menyentuh perkara yang najis.”—2 Korintus 6:14-17a.
Orang Kristen juga sadar bahwa ambil bagian dalam ritus yang bersifat takhayul tidaklah menjamin kebahagiaan dan kemakmuran—khususnya karena berpartisipasi dalam kemeriahan semacam itu dapat menimbulkan ketidaksenangan Allah. (Pengkhotbah 9:11; Yesaya 65:11, 12) Lagi pula, Alkitab memperingatkan orang Kristen agar bersahaja dan berpengendalian diri dalam tingkah laku mereka. (1 Timotius 3:2, 11) Jelaslah, bukanlah hal yang patut bagi seseorang yang mengaku mengikuti ajaran Kristus untuk ikut serta dalam perayaan yang dicirikan oleh tingkah laku liar yang kelewat batas.[3]
Semenarik dan sememikat apa pun kemeriahan Tahun Baru, Alkitab memberi tahu kita untuk ’berhenti menyentuh perkara yang najis’ dan untuk ”membersihkan diri dari setiap pencemaran daging dan roh”. Kepada mereka yang menyelaraskan diri, Yehuwa mengulurkan jaminan yang menghangatkan hati, ”Aku akan menerima kamu. . . . Aku akan menjadi bapakmu, dan kamu akan menjadi putra-putriku.” (2 Korintus 6:17b–7:1) Sesungguhnya, Ia menjanjikan berkat-berkat kekal dan kemakmuran bagi orang-orang yang loyal kepada-Nya.—Mazmur 37:18, 28; Penyingkapan 21:3, 4, 7.[4]
C.    Hasil Penelitian
Kemeriahan Tahun Baru bukanlah hal baru. Inskripsi kuno memperlihatkan bahwa peristiwa itu diadakan di Babilon pada permulaan milenium ketiga SM. Pesta itu, yang dirayakan pada pertengahan bulan Maret, sangatlah penting. ”Saat itu, dewa Marduk memutuskan nasib bangsa itu untuk tahun berikutnya,” kata The World Book Encyclopedia. Perayaan tahun baru Babilon berlangsung selama 11 hari dan mencakup pemberian korban, pawai, serta ritus kesuburan. Selama beberapa waktu, orang Romawi juga memulai tahun mereka pada bulan Maret. Tetapi, pada tahun 46 SM, Kaisar Yulius Caesar menetapkan bahwa tahun baru harus dimulai pada awal bulan Januari. Hari itu telah dibaktikan kepada Janus, dewa asal mula, dan yang sekarang juga menandai hari pertama tahun Romawi. Tanggalnya telah diubah, tetapi suasana ingar-bingarnya tetap ada. Pada awal bulan Januari, orang-orang ”menyerah kepada tingkah laku liar yang kelewat batas”, kata McClintock and Strong’s Cyclopedia, ”dan berbagai jenis takhayul yang tidak beradab”.
 Pada perkembangannya, ada seorang pendeta Nasrani yang bernama Dionisius yang kemudian ‘memanfaatkan’ penemuan kalender dari Julius Caesar ini untuk diadopsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itu sebabnya, penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti: in  the year of our lord) yaitu Masehi. Sementara untuk jaman prasejarahnya  disematkan BC (Before Christ) atau SM (Sebelum Masehi). Pope (Paus) Gregory III kemudian memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi, kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa. Bahkan, kini berlaku di seluruh negara di dunia dan umum bagi siapa saja.
Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakinan Nasrani. “The  Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the  birth of Jesus Christ as a starting date.”, demikian keterangan dalam Encarta. Di jaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (Dewa yang digambarkan berwajah dua). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa (abad permulaan Masehi). Seiring muncul dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan “suci” sepaket dengan Natal. Itulah sebabnya mengapa ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu: Merry Christmas and Happy New Year. Meskipun jutaan atau miliaran umat Islam di dunia ini merayakan tahun baru masehi dengan sukacita dan lupa diri, larut dalam gemerlap pesta kembang api, atau melibatkan diri dalam hiburan berbalut maksiat, tetap saja tak lantas menjadikan perayaan itu jadi boleh atau halal. Sebab, ukurannya bukan banyak atau sedikitnya yang melakukan, tapi patokannya kepada syariat.
Dari hasil wawancara penulis dengan seorang mahasiswa Kristen yang bernama Alex, mahasiswa Fakultas Pertanian Unsyiah Banda Aceh, berdomisili di Darussalam, memberikan pandangan tentang tahun baru, bahwa tahun baru bukan sesuatu hal yang sacral yang wajib untuk dirayakan pada setiap pergantiannya, karna tahun baru adalah budaya atau tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang, sehingga apabila ditinggalkan maka tidak akan berdosa, namum mereka pada pergantian tahun 2016 ini mereka tetap merayakan pergantian tahun baru secara diam-diam digereja, dari mulai jam 08:00 sampai dengan jam 10:00 dengan agenda kegiatan hanya bernyanyi-nyanyi. Setelah itu mereka pulang kerumah masing-masing dan merayakan pergantian tahun baru bersama keluarga sambil menunggu jam 12:00. Perayaan tahun baru ini tidak bisa dilaksanakan semeriah mungkin dengan membakar kembang api dan lain-lain dikarenakan Pemerintah Kota Banda Aceh telah mengeluarkan SK tentang larangan merayakan tahun baru di Kota Banda Aceh, dalam bentuk apapun, Pemerintah Banda Aceh juga mengkerahkan pengamanan dari semua bidang pemerintahan, sehingga tidak ada sedikitpun celah untuk merayakan tahun baru. Walaupun demikian masih banyak juga mahasiswa-mahasiswa yang berkeliling Kota Banda Aceh bersama pacar mereka, sambil menunggu datangnya jam 12:00 walaupun tidak demeriahi dengan pembakaran kembang api.
Penulis dapat menyimpulkan, bahwa dia tidak menganggap perayaan tahun baru adalah suatu hal yang sacral yang harus wajib dia laksanakan, karna tahun baru menurut mereka adalah budaya yang sudah turun-temurun dari nenek moyang mereka.






BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan

Tahun baru adalah Masehi adalah nama lain dari Isa Almasih dalam keyakinan Nasrani. Sejarahnya, menurut catatan di Encarta Reference Library  Premium 2005, orang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. bahwa dia tidak menganggap perayaan tahun baru adalah suatu hal yang sacral yang harus wajib dia laksanakan, karna tahun baru menurut mereka adalah budaya yang sudah turun-temurun dari nenek moyang mereka.














DAFTAR PUSTAKA
http://www.kompasiana.com/opajappy/perayaan-tahun-baru-1-januari-bukan milik-umat   kristen_54f381f7745513982b6c79ae
https://hi4markus.wordpress.com/2014/01/16/ramalan-dan-tahun-baru-menurut-pandangan-iman-kristen/



[2]https://hi4markus.wordpress.com/2014/01/16/ramalan-dan-tahun-baru-menurut-pandangan-iman-kristen/
[3]https://aldimazz.wordpress.com/tag/makna-dibalik-tahun-baru-masehi/
[4] http://www.kompasiana.com/opajappy/perayaan-tahun-baru-1-januari-bukan-milik-umat-kristen_54f381f7745513982b6c79ae

Comments