Sejarah Perkembangan Agama Yahudi, Kristen dan Sinto



BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Agama adalah sebuah koleksi terorganisir dari kepercayaan, sistem budaya, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan/perintah dari kehidupan.Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup atau menjelaskan asal usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan mereka tentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika,hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Menurut beberapa perkiraan, ada sekitar 4.200 agama di dunia. [1]Banyak agama yang mungkin telah mengorganisir perilaku, kependetaan, definisi tentang apa yang merupakan kepatuhan atau keanggotaan, tempat-tempat suci, dan kitab suci. Praktek agama juga dapat mencakup ritual, khotbah, peringatan atau pemujaan tuhan, dewa atau dewi, pengorbanan, festival, pesta, trance, inisiasi, jasa penguburan, layanan pernikahan, meditasi, doa, musik, seni, tari, masyarakat layanan atau aspek lain dari budaya manusia.[2] Dalam perkembangannya, Agama Yahudi, Kristen, dan Sinto merupakan agama yang tertua dan telah memiliki jutaan pengikut dari seluruh dunia.


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Sejarah Perkembangan Agama Yahudi, Kristen dan Sinto
2.1.1. Agama Yahudi
            Sebagai aliran dan gerakan keagamaan, Yahudi sering disebut sebagai Judaisme.Secara etimologis, kata Yahudi berasal dari Judah (Yehudah) sebuah eponym dari bible suku Judah. Bahasa Yunani menyebut Yahudi dengan Ioudaia.[3] Dalam pengertian yang ringkas, Judaisme sebagia aliran pemikiran dan gerakan agama Yahudi, meminjam definisi Jacob Neusner, berarti “ a religion that Scripture’s account of Israel as holy people whose encompasses the experience of exile and return.[4] Jadi, Yahudi merupakan sebuah agama yang dalam kitab sucinya memaparkan Israel sebagai orang-orang suci yang kehidupannya mencakup pengalaman di pengasingan (diaspora) dan kembali ke tanah yang dijanjikan.
            Secara garis besar ada 3 aliran utama dalam pemikiran keagamaan Yahudi, yaitu aliran Pembaharu, Ortodoks, dan Konservatif. Tiga aliran besar Agama Yahudi ini yang lahir setelah bersinggungan dengan politik dunia modern harus dispesifikasikan, karena kesemuanya melanjutkan Torah sebagai benteng pertahanan ke-rabbian-an Yahudi dan menerima Torah sebagai kelangsungan symbol mereka dan mitos, hukum-hukumnya sebagia norma mereka, teologinya sebagai batu ujian mereka. Antara 1800-1850, semua aliran itu telah terbentuk.[5]
Di antara 3 aliran keagamaan Yahudi, yang paling menonjol perwujudannya adalah Zionisme yang berhasil membentuk sebuah Negara Israel modern.Istilah Zionisme bagi orang Yahudi menunjuk kepada Tanah Israel, yang berakar dalam kesadaran orang-orang Yahudi sejak zaman Bibel.Zionisme yang dipropagandakan oleh seorang Yahudi sekuler, Theodor Herl, yang merupakan solusi terhadap problem politik sekuler pada akhir abad ke-19, sebenarnya memiliki orientasi teologis pula.Hal ini dapat dilihat dari misi penyatuan kembali Diasporan Yahudi ke dalam Tanah Israel sebagaimana dimaksdkan Yahweh dalam Torah.
2.1.2. Agama Kristen
            Agama Kristen adalah sebuah kepercayaan yang berdasar pada ajaran, hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus atau Isa Almasih.Agama ini meyakini Yesus Kristus adalah Tuhan dan Mesias, juru selamat bagi seluruh umat manusia, yang menebus manusia dari dosa.Agama Kristen bermula dari pengajaran Yesus Kristus sebagai tokoh utama agama ini. Yesus lahir di kota Betlehem yang terletak di Palestina sekitar tahun 4-8 SM, pada masa kekuasaan raja Herodes. Yesus lahir dari rahim seorang wanita perawan, Maria, yang dikandung oleh Roh Kudus. Sejak usia tiga puluh tahun, selama tiga tahun Yesus berkhotbah dan berbuat mukjizat pada banyak orang, bersama keduabelas rasulnya.
            Dalam pengertian Kristen, Denominasi adalah suatu kelompok keagamaan yang dapat diidentifikasikan di bawah satu nama, struktur, dan/atau doktrin. Di masa modern, agama Kristen diungkapkan dalam berbagai nama. Kelompok-kelompok dengan nama yang berbeda-beda ini: Lutheran, Anglikan, Presbyterian, Katolik, dll. Biasanya disebut sebagai denominasi.
Denominasionalisme adalah sebuah ideologi, yang menganggap sejumlah atau semua kelompok Kristen sebagai versi-versi dari suatu kelompok yang sama, tak peduli dengan label-label yang membedakan mereka. Namun tidak semua denominasi mengajarkan hal ini, dan ada sejumlah kelompok yang menganggap semua kelompok yang berbeda dengannya sebagai murtad atau sesat: artinya, bukan versi yang sah dari agama Kristen.
Ada sejumlah denominasi atau kelompok semi-Kristen di masa lalu yang tidak ada lagi sekarang. Misalnya kaum Gnostik (yang percaya akan dualisme esoterik), kaum Ebionit (yang menyembah saudara-saudara kandung Kristus), dan kaum Arian (yang percaya bahwa Yesus adalah suatu makhluk ciptaan dan bukan sama-sama abadi dengan Allah Bapa, dan yang untuk jangka waktu yang panjang mengalahkan jumlah kaum non-Arian 13 di dalam lingkungan gereja yang institusional).

2.1.3. Agama Sinto
            Shinto merupakan Agama asli Jepang.Berakar pada kepercayaaan animisme orang Jepang kuno, Shinto berkembang menjadi agama masyarakat dengan tempat pemujaan setempat untuk dewa-dewa rumah tangga dan dewadewa pelindung setempat.Shinto adalah salah satu agama (kepercayaan masyarakat) yang banyak dianut orang Jepang.Kegiatan peribadatannya mengutamakan pemujaaan terhadap arwah nenek moyang dan alam lingkungannya, sehingga para penganut agama Shinto mempercayai banyak dewa.
Mitos mengenai asal keturunan dewa keluarga kaisar pernah menjadi salah satu prinsip dasar Shinto, yang menyatakan bahwa orang Jepang adalah keturunan dewa matahari (Amaterau Ookami). Setelah Restorasi Meiji pada tahun 1868, dan khususnya selama Perang Dunia II, Shinto diangkat oleh penguasa menjadi agama negara.Namun, berdasarkan Undang-Undang dasar setelah perang, Shinto tidak lagi diberi dukungan resmi ataupun hak khusus, walaupun masih memegang peran pada upacara penting dalam berbagai segi kehidupan Jepang.
Kegiatan ibadah berlangsung di kuil shinto yang disebut Jinja, yaitu tempat peribadatan yang berfungsi untuk melakukan pemujaan terhadap dewa, ataupun dapat juga digunakan sebagai tempat upacara lain, seperti acara pernikahan. Jinja sering dikunjungi baik oleh orang yang beragama Shinto maupun orang tidak beragama Shinto, misalnya pada saat hatsumode (Hatsumairi) ketika tahun baru, omiyamairi beberapa minggu setelah seseorang melahirkan atau pada saat Shichigosan bagi anak perempuan yang berusia 3 atau 7 tahun dan anak laki-laki yang berusia 3 atau 5 tahun. Agama Shinto juga memiliki sebutan khusus untuk para pendeta mereka, yaitu kanmushi.Ia bertugas melaksanakan upacara-upacara ritual agama Shinto di Jinja, termasuk dalam pengelolaan keuangan tempat tersebut.
Kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh seorang kanmushi antara lain mempersembahkan sesajen dan melakukan pemujaan terhadap para dewa, melakukan pembersihan diri (baik orang maupun barang) bagi pengunjung yang menginginkan kesehatan, keselamatan, kebahagiaan atau kesejahteraan dan ia juga bertugas melaksankan upacara pernikahan. Dalam pengelolaan keuangan kuil, kanmushi turut mengawasi pendapatan dan pengeluaran keuangan, seperti dalam perhitungan hasil penjualan Omikuji, atau Engimono serta dalam perhitungan Saisen (uang sekolah) yang terkumpul dari pengunjung kuil. Para penganut agama Shinto memiliki tempat pemujaan yang khusus disediakan di rumah-rumah mereka, benda ini disebut dengan kamidana (altar shinto).
2.1.Pertemuan agama-agama besar dunia
2.2.Konsep kerukunan umat beragama di Indonesia
            Kata kerukunan berasal dari kata dasar rukun, berasal dari bahasa Arab ruknun (rukun) jamaknya arkan berarti asas atau dasar, misalnya: rukun islam, asas Islam atau dasar agama Islam. Dalam kamus besar bahasa Indonesia arti rukun adalah sebagai berikut: Rukun (nomina): (1) sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti: tidak sah sembahyang yang tidak cukup syarat dan rukunnya; (2) asas, berarti: dasar, sendi: semuanya terlaksana dengan baik, tidak menyimpang dari rukunnya; rukun islam: tiang utama dalam agama islam; rukun iman: dasar kepercayaan dalam agama Islam.
            Secara etimologi toleransi atau kerukunan berasal dari kata tolerance (dalam bahasa Inggris) yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Di dalam bahasa Arab menterjemahkan dengan tasamuh, berarti saling mengizinkan, saling memudahkan.7 Dari dua pengertian di atas penulis menyimpulkan toleransi secara etimologi adalah sikap saling mengizinkan dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Pada umumnya, toleransi diartikan sebagai pemberian kebebasan kepada sesama manusia atau kepada sesama warga masyarakat untuk menjalankan keyakinannya atau mengatur hidupnya dan menentukan nasibnya masing-masing, selama di dalam menjalankan dan menentukansikapnya itu tidak bertentangan dengan syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
            Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kerukunan hidup umat beragama mengandung tiga unsur penting: pertama, kesediaan untuk menerima adanya perbedaan keyakinan dengan orang atau kelomppok lain. Kedua, kesediaan membiarkan orang lain untuk mengamalkan ajaran yang diyakininya. Dan ketiga, kemampuan untuk menerima perbedaan selanjutnya menikmati suasana kesahduan yang dirasakan orang lain sewaktu mereka mengamalkan ajaran agamanya. Adapun aktualisasi dari keluhuran masing-masing ajaran agama yang menjadi anutan dari setiap orang .Lebih dari itu, setiap agama adalah pedoman hidup umat manusia yang bersumber dari ajaran ketuhanan. Dalam terminologi yang digunakan oleh pemerintah secara resmi, konsep kerukunan hidup umat beragama mencakup tiga kerukunan, yaitu: (1) kerukunan intern umat beragama; (2) kerukunan antar umat beragama; dan (3) kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Tiga kerukunan tersebut biasa disebut dengan istilah “Trilogi Kerukunan”.
            Dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk :
 1) Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah.
2) Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.
3) Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama.
4) Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan. Dari sisi ini maka kita dapat mengambil hikmahnya bahwa nilainilai kemanusiaan itu selalu tidak formal akan mengantarkan nilai pluralitas kearah upaya selektifitas kualitas moral seseorang dalam komunitas masyarakat mulya (Makromah), yakni komunitas warganya memiliki kualitas ketaqwaan dan nilai-nilai solidaritas sosial.
5) Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan.
6) Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
 7) Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.
2.2.1. Dalil tentang konsep kerukunan antar umat beragama
Sebenarnya toleransi lahir dari watak Islam, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dapat dengan mudah mendukung etika perbedaan dan toleransi.Al-Qur'an tidak hanya mengharapkan, tetapi juga menerima kenyataan perbedaan dan keragaman dalam masyarakat.
Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Hujarat :13, 11, surat Al_Baqarah: 272, dan Al-Maidah : 02.









2.3. Pluralisme agama
            Pluralisme merupakan suatu faham tentang kemajemukan yang mana terdapat beraneka ragam ras dan agama yang hidup berdampingan dalam suatu lokasi. Di sini pluralisme tidak hanya sekedar hidup berdampingan tanpa mempedulikan orang lain. Hal itu membutuhkan ikatan, kerjasama, dan kerja yang nyata.Ikatan komitmen yang paling dalam, perbedaan yang paling mendasar dalam menciptakan masyarakat secara bersama-sama menjadi unsur utama dari pluralisme.Yang melatar belakangi kemunculan pluralisme memang tidak terlalu jauh membahas tentang keanekaragaman dan konflik internal agama.
Dalam pergaulan antar agama dewasa ini, memang semakin hari semakin merasakan intensnya pertemuan agama-agama itu. Pada tingkat pribadi, sebenarnya hubungan antar tokoh-tokoh agama di Indonesia pada khususnya, kita melihat suasana yang semakin akrab, penuh toleransi, dengan keterlibatan yang sungguhsungguh dalam usaha memecahkan persoalanpersoalan hubungan antar agama yang ada di dalam masyarakat.
Tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari agama itu muncul kebingungankebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri di tengah agama-agama lain yang juga eksis dan punya keabsahan. Dalam persoalan ini di diskusikanlah apakah ada kebenaran dalam agama lain yang implikasinya adalah berakar dalam pertanyaan teologis yang sangat mendasar. Faktor tersebutlah yang paling utama melatarbelakangi munculnya pluralisme.
2.4.Agama primitif
            Sejarah agama primitif, dikenal “necrolatry”, “spiritisme”, “naturisme”, dan animisme.Necrolatry adalah pemujaan terhadap roh-roh atau jiwa manusia dan binatang, terutama pemujaan terhadap roh orang yang telah meninggal. Spiritisme adalah pemujaan terhadap makhluk spiritual yang tidak dihubungkan dalam suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad tertentu dan obyek-obyek tertentu. Naturisme adalah pemujaan terhadap mahluk spiritual yang dikaitkan dengan fenomena alam dan kekuatan kosmos yang besar seperti angin, sungai, bintang-bintang, langit dan juga obyek-obyek yang menyelimuti bumi ini, yaitu tanamantanaman dan binatang.Sedangkan pada animisme tekanan pemujaannya adalah pada makhluk spiritual yang obyeknya tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Animisme juga memberi pengertian yang merupakan suatu usaha untuk menjelaskan fakta-fakta alam semesta dalam suatu cara yang bersifat rasional. Karenanya lalu sering dikatakan “kepercayaan” atau agama” dan “filsafat” masyarakat yang belum berperadaban.Karena obyek-obyek tadisangat berkuasa dan memnentukan keselamanatan manusia, maka manusia lalu menghormatinya, memuja, dan menyembahnya.Tingkatan pemujaan dan penyembahan ini berdasarkan atas tingkatan rasa takut, penghargaan, rasa ketergantungan dan kebutuhan terhadapnya.Animisme sangat populer dikalangan masyarakat primitif sehingga memberi kesan sebagai “agama primitif”.
Obyek-obyek yang bergerak dan dipercayai mampu bergerak memberi kesan manusia primitif apakah pada seperangkat jasad tersebut terdapat makhluk yang tersembunyi?, atau apakah pada jasad tersebut ada yang membantu, menopang dan menggerakkan dengan keinginan, kehendak, seperti yang ada pada dirinya sendiri? Ini kemudian membawa masyarakat primitif pada suatu kondisi mental untuk menciptakan perlambang kehidupan seperti “keperibadian” pada beberapa kekuatan alam.


[1] The Everything World's Religions Book: Explore the Beliefs, Traditions and Cultures of Ancient and Modern Religions, page 1 Kenneth Shouler – 2010.
[2] Oxford Dictionaries mythology, retrieved 9 September 2012
[3] 3Ibid.
[4] Jacob Neusner, 1998, “Prolog: Defining Judaisme, “ dalam Jacob Neusner, ed., The Signposts on the Way of Torah, Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co., hal. 1
[5]Jacob Neusner, 1998, The way of Torah: An Introduction to Judaisme, Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co., hal. 182.

Comments